LAPENG, MILIK SIAPA?

Suasana denja di Lapeng

Suasana senja di Lapeng

Judul ini kusematkan pada sebuah kisah perjalananku mengamati dan menikmati petualanganku disebuah desa nun jauh dipedalaman disebuah pulau. Lapeng namanya.

            Kumulai dari awal tiba. Siapa menyangka bila hendak kesana harus tahu rencana dengan apa dan siapa. Tiada berlayar perahu bila bukan perlu pangan, kalaupun orang harus terpandang. Hingga kemudian malam pertamaku itu menumpang dipersinggahan. Esok menjelang, berlabuh bersama belasan penumpang yang baru lepas pulang dari kota Banda. Kecil besar, tua muda, sakit sehat menumpuk pada hanya satu perahu milik warga yang lebih sering berlayar daripada satu dua perahu lainnya dari desa itu.

            Sebab niatku berpetualangan, langkah saja kaki pada jalanan tak beraspal, hanya berkalang tanah liat ditumbuhi ilalang, sedikit diataranya bertimbunkan pasir sebab lubang yang dalam, sesekali sungai buatan alam sebab hujan deras diairi dari pegunungan, boleh berguna cuci kaki tangan sebab kotor tanah menjiplak badan.

            Tibaku diperaduan bersebelahan dengan sekolah. Sekolah yang berulangtahun ketiga usai dinegerikan. Total 9 ruangan besar dan 2 lainnya ruangan kecil sebagai hunian menyesaki lahan 2000 m2. Namun demikian dari 9 ruangan besar itu, hanya 3 diantaranya difungsikan sebagai ruangan belajar, 2 lainnya mutlak jadi hunian warga dan pelaksana sekolah, serta satu pustaka dan ruang kelas tambahan yang jarang terpakai, ditambah 2 kelas sisa yang usai dibangun terbengkalai sebab longsor tanah sesaki bangunan.

            Biarpun demikian, jangan hirau dengan bangunan, sebab penghuninya hanya hitungan jari kaki tangan bila dijumlahkan, total 26 siswa, itupun bila sedang cuaca baik semua berdatangan.

            Bila kuhitung dari jumlah hunian warga dengan jumlah kepala keluarga hanya sekitar 40 KK saja yang masih betah berlama-lama didesa ini. Jadi, tidak heran bila kemudian kutemukan siswa hanya belasan yang datang kesekolah, sebab mereka punya ribuan meter tanah kebun yang memberi harapan masa depan mencerahkan. Segan bertanya hendak kemana bila sekolah dasar terselesaikan, pasti jawabnya begitu saja, membantu warisan keluarga atau bila ia perempuan hanya menanti pinangan mengajak bercinta, paling satu dua yang berhasil menebas kutukan warga pada mereka.

            Biar saja sekolah demikian, kulihat saja hidup mereka senang tercerahkan, pagi disambut gonggongan anjing peliharaan, siap mengajak petualangan kekebun mata pencaharian, sebahagian lainnya pulang membawa tangkapan, harap-harap dijalan ada yang meminang minta ditukar koin rupiah.

Sementara anak kecil bila rajin lurus melaju kesekolahan, kalau-kalau ada yang menarik silah terbelokkan. Hari ini mencari udang, esok kepiting, bila cuaca cerah burung apapun boleh jadi buruan, asal hati senang pulang membawa buah tangan. Sebahagian lainnya kau lihat mungkin rajin, tapi entah apa dilakukan, mungkin hanya butuh teman, atau hendak mengajak main bola dilapangan, macam-macam alasan yang penting hati senang.

Bila bersinggah kerumah pemilik anak kurang kerjaan itu, kutemukan jawab bukan soal apa bagaimana ia bersekolah, dengar saja mereka bertuah, keluh jalan tak pernah usai, senang bila panen raya menjelang, dingin bila orang bicara tak sedap dipandang, acuh pun jadi bila tak senang.

Acuh itu pernah kurasakan sebagai pendatang, bukan kuseorang, hanya beda siapa yang lebih dahulu datang yang berhak menyerang. Belakangan kutahu disini sebahagian besar adalah pendatang. Aceh Timur, Aceh Selatan, Jantho, atau yang paling dekat yakni, Lampuyang. Berbagai alasan jadi saduran, karena penghidupan, sebab pasangan, namun yang paling jelas diinginkan adalah pencaharian.

Tanah subur luas ratusan hektar menghampar tiada bertuan, siapa tidak terkesan, akupun bila kurang kerjaan memilih tinggal meraup semuanya. Serakah memang, sebab itulah banyak diantara mereka hanya datang singgah mengambil hasil alam pulang keperaduan nikmati kesenangan, hingga bila kau hitung jumlah KK dikantor desa bulan kemarin, sekarang, dan bulan depan, hanya jadi patokan sesaat saja, cukup aku bilang sekitaran saja. Bila hasil sudah didapatkan, basa basi mereka tentang jalan biar terkesan.

Turun gunung dengan segudang hasil tanam, menyelam dalam lautan tak kau temukan ikan, sebab semuanya dibalik karang, biarpun demikian pilih pertama mereka tetap didaratan, lebih tampak mata, tak perlu susah nafas tertahan, atau takut-takut diterjang ombak lautan.

Pernah suatu ketika takut-takut menyelidiki siapa berkuasa disini. Dengar saja fakta bahwa seorang wanita tua dengan sejumlah anaknya yang telah beranak pinak jadi cucu-cucu yang menggemaskan jadi dominansi dalam kampung tak bertuan ini. Diantara 4 warung sedia bahan makanan, dua diantaranya milik mereka, anaknya sebagai kepala desa, anak-anak kampung pun diserahkan pada anaknya yang lain untuk diajarkan mengenal alif ba. Bila-bila ribut kampung, maka desas desus itu lebih dulu mengepul dari dapur warung mereka. Kalau-kalau orang baru datang, wajibkan saja kenal siapa mereka biar hidup aman sentosa. Jelas wanita tua itu senang jadi paduka.

Lantas kemana lagi harus meraba, bila bukan paksakan diri kenal mereka, hidup tenang dengan sentosa. Akupun sadar diri aku siapa, maka kudatang salam menyembah, pulangpun salam cium tersembah.

Taufiqqurrahman, Guru Relawan Pustaka Kampung Impian

Taufiqqurrahman, Guru Relawan Pustaka Kampung Impian

Suasana perpustakaan di Lapeng, walaupun anak-anaknya sedikit, tapi mereka tetap semngat untuk membaca

Suasana perpustakaan di Lapeng, walaupun anak-anaknya sedikit, tapi mereka tetap semngat untuk membaca

Guru dan anak-anak bermain menyusun kata

Guru dan anak-anak bermain menyusun kata

Seusai mengajar, guru melakukan evaluasi pada saat mengajar tadi

Seusai mengajar, guru melakukan evaluasi pada saat mengajar tadi

Masyarakat Lapeng sedang menjemur kopi hasil panen dari kebun mereka.

Masyarakat Lapeng sedang menjemur kopi hasil panen dari kebun mereka.

Pulang dari kebun

Pulang dari kebun

 Anak Lapeng.

Anak Lapeng.

Keindahan matahari terbenam di Pulo Aceh

Keindahan matahari terbenam di Pulo Aceh

Penulis : Guru Relawan Pustaka Kampung Impian, Taufiqqurrahman : lahir pada 29 Mei 1994, dengan segudang keinginan dan harapan yang masih ingin diwujudkan. Mungkin sekarang sedang ingin jadi penulis karbitan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *