Mutiara Kehidupan Dari Negeri Atas Awan

“Mereka mengajarkanku arti hidup yang sesungguhnya dimana kekurangan tidak mampu kalahkan senyuman, dimana kesedihan tidak mampu kalahkan kebahagiaan, dimana keluh kesah tidak mampu kalahkan semangat. Dengan segala keterbatasan dan kekurangan, mereka mengajarkanku bahwa hidup bukan untuk diratapi melainkan untuk dijalani”
__Serempah, 13 s/d 28 Januari 2017__

Kabut Menyelimuti Desa Serempah

Kabut Menyelimuti Desa Serempah

“Mereka mengajarkanku arti hidup yang sesungguhnya dimana kekurangan tidak mampu kalahkan senyuman, dimana kesedihan tidak mampu kalahkan kebahagiaan, dimana keluh kesah tidak mampu kalahkan semangat. Dengan segala keterbatasan dan kekurangan, mereka mengajarkanku bahwa hidup bukan untuk diratapi melainkan untuk dijalani”
__Serempah, 13 s/d 28 Januari 2017__

Ya! Itulah pelajaran berharga yang secara tidak langsung aku dapatkan di sana. Di sebuah desa kecil terpencil bernama Serempah. Sejatinya hidup adalah sebuah perjalanan panjang. Akan hadir segala masalah, kejutan, kesedihan, keceriaan, kekecewaan, konflik, tawa canda dan air mata di dalamnya. Inilah hidup. Ia memberikan pengalaman berharga yang menuntun setiap insan menuju kematangan. Lewat tulisan ini kucoba tuangkan segala pelajaran yang kupetik dari Serempah, negeri atas awan. Berikut kisahnya.
Jum’at, 13 Januari 2017. Hari dimana pertama kalinya aku menginjakkan kaki di desa terpencil ini. Sama seperti di Rinon dulu, kedatangan kami bermaksud membangun perpustakaan yang diharapkan dapat menjadi pusat pendidikan, kekreatifan dan keterampilan anak-anak pedalaman. Dibekali semangat dan tekat kuat, kami hadir memboyong segudang harapan untuk berbagi dengan anak-anak desa itu. Tak banyak memang. Hanya sedikit sumbangan berupa semangat belajar untuk bekal anak pedalaman menyongsong cita dan merajut asa.

Kesan pertama yang kurasakan adalah Serempah bener-benar kampung tertinggal, kecil, terisolir, dan tak berlistrik. Sedikit tertegun berfikir di era modern seperti ini masih ada daerah yang tidak terjamah listrik. Tapi inilah adanya. Kampung Serempah benar-benar gelap ketika dibungkam malam. Hanya terdengar suara alam yang berbisik dalam keheningan. Dahulu desa ini tidak separah kondisi saat ini. Meski terisolir tetap saja dilengkapi fasilitas penunjang kebutuhan hidup yang memadai. Namun bencana menghancurkan segalanya. Gempa tektonik di tanah Gayo tahun 2013 silam memporak-porandakan desa ini. Serempah menjadi desa terparah dari dampak gempa. Bahkan setengah dari desa ini ambruk ke dalam tanah dengan kedalaman kurang lebih 100 m dari permukaan bumi. Pasca gempa Serempah di relokasi ke daratan yang lebih tinggi yang dulunya merupakan lahan perkebunan warga. Inilah yang kemudian menjadi salah satu penyebab semakin tertinggalnya desa ini. Masyarakat harus kembali membangun desa ini dari nol.

Aku menghabiskan dua pekanku di sana. Harus menjadi dan berbaur dengan masyarakat. Mengikuti setiap adat istiadat setempat. Awalnya tersungging sedikit kegundahan dimana aku tidak terbiasa hidup dengan kondisi demikian. Kemudian kusadari inilah perjalanan hidup. Tidak indah jika tidak terdapat rintangan di dalamnya. Sebagai seseorang yang hidup dan berkembang di daerah yang bukan terisolir, tentu saja aku tumbuh dengan sifat yang sedikit manja. Segala hal yang kukerjakan ingin lebih praktis dan instan. Kondisi ini kemudian yang menuntutku untuk hidup survive dalam keterbatasan ini.
Terlepas dari segala prahara keterbatasan sarana-prasarana, desa ini betul-betul menakjubkan. Mulut seolah terbungkam dengan lukisan Tuhan yang tak tertandingi. Hamparan sawah berdindingkan gunung terpampang indah dipelupuk mata. Saban sore kabut-kabut menjamah tanah Serempah, menyerbak mengitari setiap sudut perkampungan warga. Sungguh suatu pemandangan yang jarang bisa dinikmati di daerah lainnya terlebih perkotaan. Udara segar yang yang mendamaikan sudah menjadi santapan setiap jiwa yang bernafas. Kesejukan yang menusuk hingga kepersedian tulang menjadi selimut ketika bayangan malam menghampiri. Perlahan namun pasti aku mulai menikmati desa ini.
Suatu ketika hati ini tersayat. Melihat seorang bocah merangkul adiknya. Ia sedang belajar dikelas yang dibuka oleh para “Guru Impian”. Saat itu, sang bocah tengah menulis. Lalu adiknya bergumam, “aku mengantuk, bang.”. “Tidurlah disini, dek!” jawab bocah tersebut sambil menepuk paha sebagai isyarat menyuruh sang adik tidur dipangkuan. Sang adik pun tidur dipangkuan abangnya. Namun bocah itupun melanjutkan pekerjaan menulisnya. Saat itu perasaan ku bercampur aduk antara terkagum dan terharu. Perlakuan itu terlihat manis namun menyisakan kesedihan yang tak mampu kuungkapkan. Bagaimana seorang bocah berusia 9 tahun memperlakukan adiknya dengan lembut dan bersahaja. Jika melihat usianya, bocah itu sendiri masih membutuhkan kasih sayang dan bermanjaan dalam pelukan orangtuanya. Namun menjadi sebuah pemandangan langka dikala ia memberikan kasih sayang untuk adik yang seharusnya diberikan para orangtua kepada anaknya. Setelah kutelusuri, kutemukan kenyataan bahwa sang bocah terpaksa membawa adiknya ikut belajar bersamanya karena kedua orang tuanya pergi mencari nafkah. Dari bocah itu aku belajar tentang kemandirian. Bahwa hidup bukan soal bergantung kepada orang lain, tetapi hidup adalah bagaimana menghadapi sesuatu.
Semakin hari semakin banyak anak yang kukenal. Saban hari rumah hunian yang ku tempati selalu diramaikan oleh anak-anak. Jika ada yang mengganggu ketenangan terpaksa kami abaikan bahkan menyuruh mereka pulang. Tapi mereka bersikeras. Tak perlu tindakan, mereka hanya ingin bersama kami. Tak apa tak dipedulikan asal bisa melihat kami. Terkadang aku merasa bersalah bahkan tak ayal aku iba.

Tidak sepantasnya kami mengabaikan anak-anak itu. Tergambar jelas raut wajah yang butuh kasih sayang seakan mereka hanya ingin perhatian. Tatapan mereka seolah menjerit menangisi takdirnya. Meski tidak sadar, namun dibalik senyuman wajah-wajah itu tersimpan luka yang mendalam. Nampak jiwa kosong meratapi kepergian ayah atau ibu mereka yang tidak wajar ditelan gempa.
Dalam kesunyian malam seringku renungi nasib anak-anak itu. Mereka harus memikul beban diusia yang sepantasnya hanya terisi dengan keceriaan. Masa kanak-kanak mereka terenggut turut terbawa reruntuhan bencana itu. Satu hal yang tidak kumengerti, anak-anak itu tetap bahagia dalam porsinya. Mereka tetap tertawa lepas dalam mainannya. Hal itu pula yang membuatku tersadar bahwa kebahagiaan bukan memimpikan hal besar yang belum tentu bisa kita gapai, tetapi hanya menikmati dengan apa yang tersajikan.
Tanpa sadar desa Serempah telah memberikanku arti berbagi dan peduli. Kenyataannya hidup bukanlah sekedar menghirup nafas atas tuntutan, mengisi perut tatkala lapar, dan tidur selepas kenyang. Tapi hidup adalah kerja keras, berbagi dan bersyukur. Tak ada keluh meski gelap tidak ada listrik. Tak ada kesah meski bumbu masak tak ber-blender. Dan tak ada tangisan meski hidup serba kekurangan. Yang ada hanyalah senyum ikhlas menerima keadaan dan syukur atas pemberian Tuhan.
Orang bijak mengatakan pelajaran yang paling berharga adalah pengalaman. Sebab pengalaman menuntun kita menjadi dewasa tanpa menggurui. Sedikit tidaknya negeri atas awan bernama Serempah itu mengejarkanku makna hidup yang tak akan terlupakan sepanjang hayyat masih dikandung badan.

Perkampungan Serempah

Perkampungan Serempah

Suasana kelas menulis

Suasana kelas menulis

Suasana kelas menulis

Suasana kelas menulis

Nanda Rahmad, Salah satu guru relawan Pustaka Kampung Impian sedang melakukan proses belajar mengajar

Nanda Rahmad, Salah satu guru relawan Pustaka Kampung Impian sedang melakukan proses belajar mengajar

Guru relawan Pustaka Kampung Impian sedang memasak

Guru relawan Pustaka Kampung Impian sedang memasak

Penulis : Nanda Rahmad, lahir Pante Kulu (Pidie), 23 Agustus 1992.  Alumni Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, UIN AR-Raniry Banda Aceh. Salah satu guru relawan Pustaka Kampung Impian

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *