Mengharap Secercah Cahaya Menerangi Kegelapan Pendidikan di Desa Lapeng

Nanda bersama anak-anak Desa Lapeng

Nanda bersama anak-anak Desa Lapeng

Peran pendidikan sangat besar sebagai penunjang kehidupan yang lebih baik bagi manusia. Agama Islam sendiri menempatkan pendidikan sebagai gerbang dari segala seluk beluk peraturan dalam kehidupan agar manusia tahu cara hidup dan menjalani kehidupan, baik berhubungan dengan sesama manusia maupun dalam bentuk hubungan manusia dengan Sang Pencipta.  Oleh karenanya jelas sekali letak pentingnya pendidikan bagi manusia.

Namun dalam beberapa kelompok masyarakat tertentu, pendidikan seakan menjadi hal yang tidak penting dan acapkali terabaikan begitu saja. Hal ini tentu saja terjadi karena sebagian orang menganggap pendidikan sama sekali tidak memiliki pengaruh dalam kehidupan mereka. Padahal jelas sekali untuk melakukan interaksi dalam hidup sehari-hari, seperti jual beli, tanda tangan berkas-berkas penting, komunikasi, bahkan memperkirakan takaran dan ukuran tertentu memerlukan pendidikan. Selain itu pendidikan juga bisa dijadikan benteng pertahanan dalam diri agar suatu saat ketika manusia hidup di lingkungan asing tidak mudah dibodohi dan tidak membodohi orang lain.

Sebagian kelompok lain ada juga yang menganggap pendidikan hanya cukup sampai bisa membaca tulis saja, sehingga bagi kelompok yang berfikir demikian tidak termotivasi untuk menjejal jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Bahkan sebagian orang tua memandang tamat SD sudah cukup sebagai modal menjalani hidup dalam masyarakat. Tentunya hal demikian sangat keliru dan perlu untuk di berikan pemahaman agar mindset tersebut tidak terus berkembang dan berakar. Kondisi inilah yang dari dulu terjadi di desa Lapeng, Pulo Aceh, Aceh Besar. Mirisnya kondisi ini berlangsung sampai hari ini, terus menggelinding tanpa tahu akhir dari “bencana dunia pendidikan” di desa ini.

Lapeng menjadi salah satu desa dengan kondisi pendidikan yang sangat memprihatinkan di bumi Serambi Mekah ini. Meski terlihat kepedulian terhadap pendidikan anak-anak mereka sangat minim, para orang tua di desa Lapeng sebenarnya bukan tidak tahu makna pentingnya pendidikan dan efek positifnya bagi anak-anak mereka. Mereka tahu. Hanya saja kondisi seakan menghimpit mereka sehingga terkesan mereka tak menaruh perhatian akan hal tersebut. Memang faktanya belum ada satupun masayarakat Lapeng yang mampu menembus gelar sarjana, tapi bukan berarti mereka benar-benar tidak peduli akan pendidikan bagi anak-anak mereka. Sering keluar dari mulut para orang tua beberapa faktor yang menyebabkan banyaknya angka putus sekolah anak-anak di desa Lapeng, baik faktor internal maupun eksternal. Namun, yang menjadi kendala terbesar, menurut mereka, adalah kondisi geografis desa yang terletak di sebelah sisi barat Pulau Breuh Utara.

Lapeng memang sampai saat ini bisa dikatakan termasuk kedalam kategori desa terpencil, terisolir dan terabaikan diantara desa lainnya di Kecamatan Pulo Aceh. Akses keluar masuk desa diperparah dengan kondisi jalan yang rusak menjadi penyebab utama anak-anak Lapeng tidak bisa melanjutkan pendidikan setamat Sekolah Dasar. Akibatnya, jangankan untuk menembus dunia pendidikan di perkuliahan, mengenyam pendidikan di Sekolah Menegah Pertama saja sangat mustahil bagi mereka. Ironisnya sampai saat ini kondisi tersebut masih berlangsung dan belum ada solusi untuk memecahkan masalah ini. Setiap tahun berganti, siswa siswi Sekolah Dasar yang bersekolah di SDN Lapeng seperti kehilangan arah. Mereka bahkan tidak sadar nasib pendidikan  mereka kelak yang suram tak bertepi. Seiring tahun ajaran sekolah berganti, bertambah pula tamatan SD yang akhirnya penganguran karena tidak bisa melanjutkan pendidikan. kondisi demikian terus berlagsung setiap tahunnya.

Beberapa orang tua yang berkeinginan besar menyekolahkan anak-anak mereka di desa lain, terkadang harus menelan pahit mimpi tersebut. Sebab jika harus melanjutkan sekolah artinya anak-anak mereka harus hidup seorang diri di desa lain tempat mereka bersekolah. Sementara para orang tua tidak tega membiarkan anak-anak mereka hidup seorang diri di umur mereka yang masih belia setamat SD. Para orang tua tentu khawatir jika anak-anak mengurus hidup sendiri di  usia mereka yang masih kanak-kanak. Alhasil mau tidak mau mereka terpaksa membiarkan anak mereka bekerja sebelum waktunya.

“Setidaknya, sudah putus sekolah jangan sampai  mereka menambah beban orang tua mereka sehingga memang sebaiknya mereka mulai mencari nafkah sendiri.” Tutur kak Treh, salah satu ibu dari siswa SD di Lapeng yang juga memiliki anak putus sekolah.

Sama seperti kebanyakan orang tua lainnya, para orang tua disini juga juga memiliki harapan terhadap masa depan pendidikan anak-anak mereka. Mereka ingin penambahan guru dan di berikan guru yang mau menetap di desa ini sehingga anak-anak mereka dapat di didik secara maksimal. Selama ini guru yang mengajar  di desa Lapeng hanya 4 orang guru dengan sistem jam mengajar sift. Dari 4 orang guru tersebut yang hanya bertugas mengajar hanya 2 orang perminggunya secara bergantrian. Setiap guru harus masuk 3 kelas. Tentunya cara ini tidak akan memberikan kualitas belajar mengajar yang efektif. Selain itu mereka juga berharap sangat agar sesegera mungkin jalan keluar masuk desa yang telah lama di janjikan oleh pemerintah segera di realisasikan. Sebab jalan tersebut dianggab sebagai sumber dari keterhambatan semua kegiatan masyarakat termasuk penyebab terhambatnya anak-anak melanjutkan pendidikan di desa Rinon atau Blang Situngkoh desa dimana Sekolah Menengah Pertama berada. Mereka juga ingin anak-anak mereka cerdas seperti kebanyakan anak desa lainnya.

“Sudah kami yang bodoh karena dulu tidak ada sekolah, jangan sampai anak cucu kami juga bodoh”. Tutur Nek Mi, salah satu tetua gampong Lapeng. senada dengan pernyataan Nek Mi, Mak Nen, salah satu sesepuh desa Lapeng mengutarakan,

“Siapa yang tidak ingin anaknya pintar dan bersekolah tinggi, jangan seperti kami orang tua mereka yang bodoh karena dulu tidak bersekolah. Tapi apa mau dikata ekonomi masyarakat, jalan yang tidak kunjung dibuat, sehingga mau tidak mau kami tidak punya kuasa untuk melanjutkan pendidikan anak-anak kami.”

Sebuah ironi yang sangat menyayat hati melihat kondisi masa depan anak-anak di Lapeng yang tidak tentu arah. Hanya bisa berharap secercah cahaya datang menerangi kabut gelap yang selama ini menyelimuti dunia pendidikan mereka.

Penulis : Nanda R

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *