Kala Guru Impian Berada di Desa Balingkarang

DSC_9454

Batu, lubang dan terik matahari kala hujan tidak turun harus selalu dilalui untuk menuju desa Baling Karang, sebuah desa terpencil di Kabupaten Aceh Tamiang. Pohon-pohon besar tidak terlihat sepanjang jalan. Hanya ada kebun sawit dan karet. Tidak heran jika suasana sekitar terasa panas. Tanah pun tidak menampakan kondisi baik, malah sebaliknya – kering, tandus dan berdebu. Menghirup udara kotor di sepanjang jalan seolah jadi “santapan” setiap hari, bukan karena asap kendaraan, justru debu yang begitu pekat timbul jika kendaraan roda 2 atau 4 melaju meskipun dengan kecepatan yang standar. Namun, dibalik kondisi yang sering kulihat itu, ada sungai yang menjadi sumber kehidupan yang luar biasa.

Sungai menjadi sebuah tempat yang mampu menyejukan mata dan jiwa. Selain itu, sungai yang ada di desa Baling Karang merupakan akses penghubung ke desa lain di seberang sungai menggunakan getek- sebuah alat transportasi serupa rakit yang memiliki atap – yang digunakan sehari-hari oleh warga. Sungai juga sebagai tempat mandi, mencuci dan memancing. Biasanya, sungai pun digunakan sebagai tempat bermain dan belajar anak-anak di desa.

Kesempatan Berharga Menjadi Guru Kelas Menulis

Di pinggir sungai yang penuh banyak kegunaan itu, menjadi suatu pilihan tempatku memfasilitasi anak-anak yang mengikuti program Pustaka Kampung Impian khususnya kelas menulis. Sungguh menyenangkan belajar sambil menikmati pemandangan sungai secara langsung, meskipun awalnya aku tidak yakin mampu mengampu kelas menulis karena sebelumnya aku terbiasa berada di kelas membaca dasar untuk memfasilitasi anak-anak usia 6-7.

Alhamdulillah, kendati sekarang diberikan amanah belajar bersama mereka yang berusia 12-15 tahun, aku menyadari perasaan berat saat ingin memulai itulah yang menjadi sugesti. Nyatanya, semua berjalan sesuai porsinya.

Pada akhirnya, banyak hal menarik yang dapat kupelajari dari anak-anak desa Baling Karang, apalagi tentang semangat untuk belajar. Melihat mereka yang harus berjalan cukup jauh untuk menuju sekolah menengah yang berada di seberang desa, pergi sepagi mungkin agar tidak terlambat dan harus membuka sepatu dan kaos kaki agar tidak basah ketika menyeberang sungai dengan menggunakan getek, menjadi pelajaran tentang syukur. Aku – bahkan kita – harus lebih bersyukur dengan kemudahan yang kita miliki saat ini.

Ditulis oleh Aziz

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *