Ceria, (/ce•ria/), dalam makna Kamus Besar Bahasa Indonesia, KBBI, berarti bersih, suci, murni, berseri-seri (tentang air muka, wajah), bersinar, atau cerah. Sementara itu kata batas (/ba•tas/) merupakan garis (sisi) yang menjadi perhinggaan suatu bidang (ruang, daerah, dan sebagainya), pemisah antara dua bidang (ruang, daerah, dan sebagainya), sempadan, ketentuan yang tidak boleh dilampaui, atau perhinggaan.
Dari makna dasar dari kedua kata diatas berarti bersih dalam sebuah daerah tertentu, atau berseri-seri dalam ketentuan ang tidak boleh dilampaui, yang mana hal tersebut bermakna bahwa tetap senang dengan kondisi yang ada meskipun kondisi tersebut sangat mengkungkung mereka untuk melaju lebih jauh, atau sederhananya yaitu keceriaan dalam keterbatasan.
Judul ini kusematkan pada sebuah kisah perjalananku mengamati dan menikmati petualanganku disebuah desa nun jauh dipedalaman disebuah pulau kenamaan, Pulo Aceh. Lapeng namanya, disini kutemukan keluh berbalas senyum, lelah berbalas ramah, payah ditapih senang, hingga nikmat terpaksa kutepis murka.
Kumulai dari awal tiba. Siapa menyangka bila hendak kesana harus tahu rencana dengan apa dan siapa. Tiada berlayar perahu bila bukan perlu pangan, kalaupun orang harus terpandang. Hingga kemudian malam pertamaku itu menumpang dipersinggahan. Esok menjelang, berlabuh bersama belasan penumpang yang baru lepas pulang dari kota Banda. Kecil besar, tua muda, sakit sehat menumpuk pada hanya satu perahu milik warga yang lebih sering berlayar daripada satu dua perahu lainnya dari desa itu.
Sebab niatku berpetualangan, langkah saja kaki pada jalanan tak beraspal, hanya berkalang tanah liat ditumbuhi ilalang, sedikit diataranya bertimbunkan pasir sebab lubang yang dalam, sesekali sungai buatan alam sebab hujan deras diairi dari pegunungan, boleh berguna cuci kaki tangan sebab kotor tanah menjiplak badan.
Tibaku diperaduan bersebelahan dengan sekolah. Sekolah yang berulangtahun ketiga usai dinegerikan. Total 9 ruangan besar dan 2 lainnya ruangan kecil sebagai hunian menyesaki lahan 2000 m2. Namun demikian dari 9 ruangan besar itu, hanya 3 diantaranya difungsikan sebagai ruangan belajar, 2 lainnya mutlak jadi hunian warga dan pelaksana sekolah, serta satu pustaka dan ruang kelas tambahan yang jarang terpakai, ditambah 2 kelas sisa yang usai dibangun terbengkalai sebab longsor tanah sesaki bangunan.
Biarpun demikian, jangan hirau dengan bangunan, sebab penghuninya hanya hitungan jari kaki tangan bila dijumlahkan, total 26 siswa, itupun bila sedang cuaca baik semua berdatangan.
Bila kuhitung dari jumlah hunian warga dengan jumlah kepala keluarga hanya sekitar 40 KK saja yang masih betah berlama-lama didesa ini. Jadi, tidak heran bila kemudian kutemukan siswa hanya belasan yang datang kesekolah, sebab mereka punya ribuan meter tanah kebun yang memberi harapan masa depan mencerahkan. Segan bertanya hendak kemana bila sekolah dasar terselesaikan, pasti jawabnya begitu saja, membantu warisan keluarga atau bila ia perempuan hanya menanti pinangan mengajak bercinta, paling satu dua yang berhasil menebas kutukan warga pada mereka.
Biar saja sekolah demikian, kulihat saja hidup mereka senang tercerahkan, pagi disambut gonggongan anjing peliharaan, siap mengajak petualangan kekebun mata pencaharian, sebahagian lainnya pulang membawa tangkapan, harap-harap dijalan ada yang meminang minta ditukar koin rupiah.
Sementara anak kecil bila rajin lurus melaju kesekolahan, kalau-kalau ada yang menarik silah terbelokkan. Hari ini mencari udang, esok kepiting, bila cuaca cerah burung apapun boleh jadi buruan, asal hati senang pulang membawa buah tangan. Sebahagian lainnya kau lihat mungkin rajin, tapi entah apa dilakukan, mungkin hanya butuh teman, atau hendak mengajak main bola dilapangan, macam-macam alasan yang penting hati senang.
Bila bersinggah kerumah pemilik anak kurang kerjaan itu, kutemukan jawab bukan soal apa bagaimana ia bersekolah, dengar saja mereka bertuah, keluh jalan tak pernah usai, senang bila panen raya menjelang, dingin bila orang bicara tak sedap dipandang, acuh pun jadi bila tak senang.
Acuh itu pernah kurasakan sebagai pendatang, bukan kuseorang, hana beda siapa ang lebih dahulu dating ang berhak menerang. Belakangan kutahu disini sebahagian besar adalah pendatang. Aceh Timur, Aceh Selatan, Jantho, atau ang paling dekat akni, Lampuang. Beragai alas an jadi saduran, karena penghidupan, sebab pasangan, namun ang paling jelas diinginkan adalah pencaharian.
Tanah subur luas ratusan hektar menghampar tiada bertuan, siapa tidak terkesan, akupun bila kurang kerjaan memilih tinggal meraup semuana. Serakah memang, sebab itulah banak diantara mereka hana datang singgah mengambil hasil alam pulang keperaduan nikmati kesenangan, hingga bila kau hitung jumlah KK dikantor desa bulan kemarin, sekarang, dan bulan depan, hana jadi patokan sesaat saja, cukup aku bilang sekitaran saja. Bila hasil sudah didapatkan, basa basi mereka tentang jalan biar terkesan.
Turun gunung dengan segudang hasil tanam, menelam dalam lautan tak kau temukan ikan, sebab semuana dibalik karang, biarpun demikian pilih pertama mereka tetap didaratan, lebih tampak mata, tak perlu susah nafas tertahan, atau takut-takut diterjang obak lautan.