Sampah adalah arti dari nama sebuah desa kecil nun jauh di puncak bukit Aceh Tengah, Serempah namanya. Menurut cerita yang ku dengar munculnya nama ini konon saat seorang raja di masa lampau memancing di sungai dekat desa ini, ia sempat berkeluh karena yang tersangkut pada kailnya bukannya ikan akan tetapi malah sampah. Saat mendengar itu, aku berfikir sejenak, ternyata sampah sudah lebih dulu merajalela mengotori tanahku jauh sebelum aku sadar untuk belajar “Buang Sampah pada Tempatnya”.
Terlepas dari segala cerita tentang sampah, hari ini aku dengan dua orang “Guru Impian” yang ditugaskan untuk bermain bersama anak-anak di desa ini telah tiba dirumah Sang Reje (sebutan masyarakat Gayo untuk Kepala Desa). Dalam perjalanan, ke-lima orang teman lainnya terus berkisah tentang penempatan mereka sebelumnya di Pulo Aceh, sementara aku merasa ciut di antara cerita pengalaman mereka. Tapi, dengan harapan besar untuk mendapatkan moment indah dengan cara dan waktu yang berbeda, ku coba meninggikan semangat ini.
Tiba ditempat tujuan, Serempah, aku bersama kedua teman beristirahat sejenak dirumah Reje, kami pun mulai berkemas untuk setiap kegiatan yang terencana dengan detail sebelumnya.
Hujan. Suasana yang senantiasa menemani hariku disini. Begitupun rasa syukur ini yang terus ingin ku titipkan pada tetesan hujan agar mengalir di sungai-sungai kehidupan ke seluruh negeri. Disisi lain, rasa sakitjustru memenuhi pikiran ku tentang pengetahuanku yang sempit tentang kampung ini sebelumnya. Banyak hal yang diajarkan kampung ini padaku, kebaikan masyarakat memaksa kami mengambil sesuatu yang mereka berikan pun dipinjamkan. Tanpa listrik, tanpa air bahkan tanpa ikan semuanya kalah hanya dengan satu senyuman dari mereka.
Dua hari sudah keberadaanku di sini. Tapi, yang kami lakukan di dua hari awal ketibaan di kampung kecil ini lebih besar dari mimpi pengabdian yang pernah ingin ku nikmati. Aku dan anak-anak.
Aku suka anak-anak, aku suka bermain dengan mereka, aku suka semua tentang mereka. Sapaan pertama mereka dengan gandengan tangan-tangan kecil yang memaksa ku untuk terus bermain bersama. Haru, awal yang benar-benar indah untuk sebuah kisah. Namun demikian, beberapa kali mereka datang tak diundang, bukan cuma seorang, bahkan satu kampung, mereka datang keroyokan hingga acapkali membuatku kesal. Mereka kadang seperti kucing manis yang manja, kadang seperti harimau ganas yang siap menerkam mangsa. Bersikap dengan mereka seperti bermain teka-teki. Polosnya mereka yang menceritakan semua hal tentang hidupnya, sedih, senang namun tetap dengan raut wajah yang sama. Disatu sisi, kedewasaan mereka patut kuhargai, mereka sangat bertanggungjawab untuk setiap tugas yang diberikan orangtuanya.
Hingga suatu ketika seorang anak datang mendekatiku, “Kak, aku suka kakak. Kakak jangan pulang ya!”. Risma, usianya 4 tahun dan setiap berbicara ia selalu menggunakan bahasa Gayo. Ia tahu kami tak paham, ku rasa saat kami bicarapun beberapa hal dia juga tak paham. Tapi keinginannya untuk terus bicara dengan kami tidak pernah membuatnya berhenti. Aku kagum pada anak ini. Ia belum sekolah, ia juga tidak datang pada kami untuk belajar alfabet atau sekadar membaca buku. Dia datang hanya karena ia butuh teman. Kadang ia datang saat kami bergelut dengan asap dari bakaran kayu api lembab dalam dapur basah dengan genangan air tanah karena hujan. Ia datang dengan membawa serta adiknya dalam gendongan. Ingin rasanya ku bawa dia berlari kencang sambil tertawa bersama angin. Ku rasa bebannya terlalu berat. Namun, ternyata aku salah. Dia tidak pernah tampak sedih. Bahkan lebih dari bahagia dia selalu tersenyum dengan merangkul kuat adiknya. Ia adalah satu diantara puluhan sahabat kecil yang membuat Serempah menjadi semakin indah di hati ku.
Teringat ku pada sebuah kata bijak yang pernah diajarkan, “Sederhana itu tidak membatasi kebahagiaan”, sekarang aku percaya, bahkan lebih dari itu, aku benar-benar yakin jika kita bersyukur dengan apa yang kita punya, kita pasti bahagia. Hal yang terlalu dewasa yang diajarkan anak-anak ini padaku.
Dalam pekatnya kabut, hembusan dinginnya angin, hitamnya asap kayu dapur pun keruhnya air gunung, dan “jipang” jadi primadona sayurnya, anak-anak itu mengajarkanku lebih banyak daripada yang kuajarkan.
Hingga kusadar mereka tidak hidup istimewa tapi punya bahagia, hidup dalam batas tapi penuh puas, punya cita besar walau dapat sedikit cinta. Merekalah butiran berlian dibukit itu, Serempah.
Penulis : Nourica, Guru Relawan Pustaka Kampung Impian. Lahir di Banda Aceh, 04 Maret pada 23 tahun yang lalu. pernah menempuh pendidikan di Fakultas Keperawatan Unsyiah. Punya sedikit minat untuk menulis tapi lebih senang membaca.