Kelas menulis Baling Karang adalah akhir dari rangkaian tugas “belajar” bersama mencari inspirasi. Awalnya kelas ini merupakan hiburan setelah sebelumnya berjuang besar untuk menemani anak-anak kelas menulis di dua desa sebelumnya. Di Baling Karang menjadi fase santai untuk sejenak berhenti menyeimbangkan energi untuk anak-anak hiperaktif sebelumnya. Awalnya benar-benar menikmati kesunyian yang ada, namun lama-kelamaan kebosanan itu pun mengganggu di hati. Apalagi anak-anak selalu mengangguk saat memulai konten dan mengikuti setiap instruksi tanpa keluhan.
Anak-anak yang di sini hanya betanya ide awal untu memulai menulis. “Boleh begini kak?”, “Bisa ceritanya tentang hal yang sama kak?” atau “Menggambar, G-nya berapa kak?”. Pertanyaan yang hadir sekali waktu saat proses belajar. Konten menulis yang juga banyak fokus ke imajinasi atau ide menulis pun menjadi monoton rasanya. Memodifikasi konten juga menjadi hal yang menarik untuk dipikirkan. Walau semua anak cenderung sama, ada yang menarik perhatian dalam diri seorang anak. Namanya Rendi, dia selalu menjadi anak yang paling diam di antara yang lainnya.
Menulis tentang kampung, menulis dongeng, menggambar bebas, menggambar cita-cita semua konten-konten ini tak pernah di bantahnya. Namun, raut wajah yang ditunjukkan saat belajar juga bukan menunjukkan penerimaan. Hasil tulisannya pun tidak memenuhi syarat dengan baik. Kadang ide dalam tulisannya pun sulit dipahami. Menggambar merupakan konten yang langsung ditolaknya. ”Saya gak hobi gambar kak, gambarku pasti jelek”, itu menjadi alasannya saat konten menggambar. Sampai beberapa kali di briefing saya mengumpulkan berbagai saran dari teman tim untuk memodifikasi konten agar sesuai untuk Rendi. Setiap kali evaluasi pun kami memikirkan solusi untuk mencari tahu “masalah” apa yang ada pada Rendi.
Rendi termasuk anak yang rajin dari awal Pustaka Kampung Impian dimulai. Bahkan pernah beberapa kali ia menjadi satu-satunya anak laki-laki yang hadir di kelas. Melihat hasil tulisannya yang mengkhawatikan kadang saya merasa bersalah. Berpikir tentang “apakah kemampuan penyampaian saya akan konten yang sulit dipahami anak terutama Rendi?”. Setelah bulan pertama hampir berakhir dan ada suatu kejadian unik yang dialami Rendi saat menginap bersama Rambo di perpustakaan, juga sebuah kisah tentang seorang pemuda desa yang bercanda menitipkan salam untuk Kak Darfi pada Rendi. Cerita itu Rendi ceritakan dengan sangat baik pada saya dan teman-teman. Walau dengan terbata, tapi kalimat yang digunakan mudah kami pahami. Kesempatan ini saya gunakan sebagai pancingan untuk ide bagi Rendi dalam menulis buku hariannya. Dengan semangat Rendi memulai menggoreskan tinta pulpen ke lembaran bukunya. Tiba-tiba goresan itu berhenti dan wajah bingungnya terlihat. “Kak, gimana tadi tulisnya kak?”, dia menanyakan pada saya tentang bagaimana ia harus mulai menuliskan ceritanya. Berulang terus hingga mungkin setengah ceritanya diawali dengan kata-kata dari saya.
Setelah kejadian itu, saya menyimpulkan bahwa Rendi kesulitan mengatur kata, maka di setiap kesempatan menulis, saya mengupayakan dapat membaca tulisannya sehingga dengan mudah dapat memberinya masukan. Rendi tak pernah terganggu jika saya mengoreksi tulisannya langsung saat belajar. Huruf-huruf yang tertinggal atau kata yang beulang itu yang sering menjadi masalah saat Rendi menulis. Seperti kebanyakan anak lainnya, ia juga kadang malas untuk memperbaiki tulisan yang sudah terlanjur ditulisnya. Meski begitu dia mengakui kesalahannya tersebut dan mengetahui secara mandiri apa yang perlu diperbaiki.
Bakat dan minatnya akhirnya terlihat waktu proses belajar kelas menulis dan membaca lanjutan harus digabungkan. Kondisi saat itu hujan sehingga jika belajar dengan metode biasa akan membosankan dan pasti menimbulkan rasa kantuk pada mereka. Sehingga dengan cepat saya dan Kak Darfi memutar otak untuk membentuk konten yang menarik. Belajar behitung dan tebak-tebakan dibuat menjadi seperti cerdas cermat. Rendi yang berperan sebagai juru bicara untuk timnya tampak bersemangat. Sepertinya Rendi sangat bersemangat untuk bekerja di bawah tekanan. Adrenalinnya terpacu kencang untuk menyelesaikan setiap soal dengan cepat dan tepat. Soal berhitung menjadi spesialisnya, beberapa kali soal angka itu dijawabnya secara mandiri tanpa harus berdiskusi dan bertanya dengan teman tim lainnya. Dia pun menghitung rangkaian angka, perkalian dan penjumlahan itu tanpa alat bantu kertas dan pensil.
Dengan sisa satu bulan lagi ini, saya akan berusaha mengupayakan Rendi untuk “jujur” dalam menulis. Mengikuti setiap imajinasi dan ide yang ada dan dituangkan dalam bentuk yang tertulis. Mau menghapus tulisan yang salah dan memperbaikinya. Terus semangat menyelesaikan soal berhitung dan belajar mengatur bahasa walau tidak dalam keadaan tertekan. Rendi dan teka-teki tentangnya akan mulai dipecahkan satu per satu.
ditulis oleh Nourica, guru impian.