Hari Guru Bagi Anak-Anak Desa Seberang Sungai

Anak-anak Desa Baling Karang di pedalaman Aceh Tamiang memperingati hari Guru bersama Guru Pustaka Kampung Impian dan Guru SD Baling Karang

Anak-anak Desa Baling Karang di pedalaman Aceh Tamiang memperingati hari Guru bersama Guru Pustaka Kampung Impian dan Guru SD Baling Karang

Pukul satu siang, satu persatu anak-anak datang ke rumah Buk Datok, sebutan untuk Ibu Kepala Desa. Sepulang sekolah mereka diminta untuk datang ke rumah dengan memakai seragam sekolah. Tak ada rencana untuk hari ini merayakan hari guru. Itu hanya sebuah inisiatif yang spontan saja ketika pihak sekolah menawari secara mendadak untuk bekerja sama.

Persiapan seadanya yang kami lakukan bersama tim, hanya memasak bubur dan membuat rangkaian bunga. Selebihnya adalah persembahan tulisan yang dibacakan oleh anak-anak. Kami sebagai relawan hanya berbalas pantun dengan guru-guru serta menonton cuplikan video selamat dari anak-anak.

Anak-anak ini adalah anak desa seberang sungai yang jauh dari pusat kota. Beruntung di sini hanya punya satu sekolah dasar dan selebihnya, sekolah menengah pertama dan atas harus dilalui menggunakan getek, alat transportasi tradisional setelah perahu.

Pula tak banyak hal yang dapat dilakukan di sini sebagaimana kehidupan di kota. Sinyal yang kadang bertingkah rimba pun seperti memenjarakan saya akan isu dunia luar. Ah, tapi itu bukan masalah besar. Di sini, bersama anak-anak mereka memiliki banyak cara untuk mengisi hari-hari. Sepulang sekolah, anak lelaki akan pergi memancing atau menjaring ikan. Para pemuda bermain voli di sore hari sementara anak perempuan lebih memilih menetap di rumah membantu orang tua. Seperti mereka, saya mulai menikmati hari-hari di sini dengan ikut bermain bersama mereka.

Pernah suatu pagi saya melihat mereka menenteng sepatu menuju getek, dengan kaki telanjang untuk menyusuri jalanan desa yang bersemen. Tak terbayangkan bagi saya bagaimana perjalanan yang mereka lalui itu menuju sekolah menaiki getek yang kadang tidak beroperasi apabila sungai meluap. Anak-anak ini harus menempuh jalan kaki ke sekolah dalam waktu sekitar tiga puluh menit. Salah seorang dari mereka pernah mengatakan, bila telat hadir ke sekolah mereka akan menerima ejekan dari teman-temannya karena sering terlambat.

Pun beragam kisah dari mereka yang menempuh perjalanan panjang untuk menuntut ilmu tidak menyurutkan semangat untuk merayakan hari guru. Anak-anak sangat kreatif. Mereka menulis sepucuk surat dan harapan untuk guru dengan air mata di pipi saat membacakan. Setelahnya adalah makan bubur bersama anak-anak.

Dari murid-murid kreatif ini adanya para guru yang mendidik mereka yang datang dari kota membawa harapan bagi mereka. Dari kelas satu hingga kelas enam berjumlah 35 orang anak dengan lima orang guru yang berhadir pada acara. Sebagian guru adalah warga desa dan selebihnya mereka juga adalah pejuang yang menempuh perjalanan melalui getek atau perahu mesin.

Perayaan hari guru di desa ini bukan hanya sekadar seremoni penambah nafsu makan. Kehadiran para guru beserta relawan adalah sebuah makna mendalam bagi kelanjutan cita-cita bangsa. Tak ada akses yang memadai seperti jembatan atau jalanan yang bagus untuk berani datang kemari. Hanya harapan dan niat yang luhur yang pantas menjejakkan kaki di tanah orang Gayo seberang Tamiang. Anak-anak yang berbaris di bibir sungai menanti getek membawa harapan, ialah guru.

Adanya hari guru berarti pula adanya sebuah harapan yang datang dari dalam hati. Jika mereka bersedia berbagi ilmu hingga ke desa terpencil mestinya ada peluang bagi mereka untuk mendapat akses yang lebih baik. Dari Baling Karang kami mengucapkan Selamat Hari Guru!

Ditulis oleh Kasumah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *