Sedari dulu, profesi seorang guru merupakan suatu pekerjaan yang begitu luhur dan mulia. Karena pada dasarnya, para guru berperan dalam membentuk pribadi pemimpin-pemimpin bangsa ini, yang akan membawa perubahan baik atau buruk di kemudian hari. Tanyakanlah impian anak-anak di bangku sekolah dasar, meski kini perkembangan zaman turut mengubah impian mereka dan membuatnya menjadi semakin variatif, cita-cita untuk menjadi seorang guru tidak akan pernah tergerus zaman. Akan selalu ada impian mulia dari anak-anak untuk berjasa tanpa tanda jasa, bermanfaat bagi kampung dan lingkungan mereka.
Pilihan menjadi guru juga bukan keputusan yang mudah bagi sebagian orang, sedang sebagian lain mungkin hanya asal pilih, terbawa suasana, mengikuti begitu saja apa yang mereka sebut “takdir” bisa juga mengikuti garis keturunan yang sudah dari sananya berprofesi sebagai guru. Dengan begitu tidak semua orang yang berprofesi sebagai guru adalah seorang pendidik,. Tidak setiap dari mereka menikmati proses dalam mendidik.
Begitu pula dengan saya. Dua bulan segera berlalu, sejak saya memperkenalkan diri sebagai salah satu guru impian terpilih dalam sebuah program kerelawanan. Pengidentifikasian itu mengundang tanya beberapa kawan lama yang saya temui. Sesekali saya juga kebingungan untuk mendefinisikan profesi itu secara sederhana, bermaksud agar tidak mengundang tanya berlebih, biarlah bimbang menjadi milik saya sendiri.
Guru (teacher) dalam longman digital dictionary edisi 6 diterjemahkan sebagai ’someone whose job is to teach, especially in a school”. Sedang impian atau dream masih dalam kamus digital yang sama (berhubung cuma itu kamus yang menemani saya sekarang), diterjemahkan sebagai a wish to do, to think about something that you would like to happened or have. Bisa jadi, guru impian merupakan pengajar yang siap sedia berbagi dan merangkul mereka, mengajarkan hal-hal sederhana yang dalam proses mereka untuk menggapai impian itu. Semoga penjelasan sederhana di atas menuntaskan kebimbangan kita bersama.
Penempatan pertama saya di Desa Lapeng, Pulau Aceh, Aceh Besar memaksa saya berlajar banyak sekali hal baru yang hampir berbeda 180 dari keseharian saya sebelumnya. Mau tidak mau semuanya berjalan dengan lancar, atau singkatnya sebut saja begitu. Perjalanan kedua pun menjadi suatu yang sangat saya nantikan.
Lagi, dua bulan pertama akan segera berlalu, penempatan kedua saya di Desa Baling Karang, Aceh Tamiang pun segera bertemu titik akhir. Meski masih berada di kabupaten yang sama dengan kampung halaman saya, ini adalah kali pertama saya mendengar tentang Desa Baling Karang, yang masih saya cari misteri tentang keberadaan pantai dan kabutnya, pesona yang selalu tak pernah berhenti memanjakan kami.
Demikian juga pada kesempatan ini, saya masih dipercaya untuk duduk dan belajar bersama anak-anak yang telah dibagi dalam kelompok belajar yang kami namai kelas remaja (teenager). Usia mereka berkisar antara 11 sampai 16 tahun, rentang antara kelas V SD sampai dengan kelas IX SMP, sesekali ada juga anak SMA yang ikut bergabung.
Dengan begitu anak-anak usia di bawah kelompok teenager digolongkan lagi menjadi kelas membaca dasar yang fokus pada pengenalan huruf alfabet dan anak membaca lanjut yang fokus pada kelancaran menulis. Duduk dan berbagi bersama mereka pastinya dipenuhi dengan tantangan akan kesabaran. Begitu juga dengan kelas teenager yang menuntut saya dan Uma (rekan saya di kelas remaja Baling Karang) untuk mencoba pendekatan yang lebih beragam. Mereka anak-anak remaja memang tidak perlu diteriaki agar paham dan menurut. Tapi usia mereka dalam masa peralihan itu akan membuat kami sedikit kewalahan.
Berbeda dengan kelas teenager sebelumnya yang diisi oleh anak sekolah dasar kelas V dan VI, di penempatan kedua Desa Baling Karang. Saya dan Uma dihadapkan dengan anak-anak yang sedang melalui masa peralihannya menjadi orang dewasa. Saya juga pernah alami, di masa itu, entah kenapa anak-anak jadi super pemalu, padahal mereka bukan putri malu dan bahkan berpakaian lengkap. Menghadapi saya dan Uma yang keduanya wanita membuat kelas diipenuhi oleh anak-anak perempuan. Belum lagi menemui titik jenuh mereka dalam belajar, atau pekerjaan mereka di rumah yang tak terelakan dan mengharuskan mereka absen dari kelas sharing kami. Memahami anak-anak memang sulit bagi orang dewasa, seperti yang diceritakan oleh Antonie de Euxpery dalam bukunya “The Little Prince”. Namun, memahami anak usia remaja akan jauh lebih sulit dari itu.
Sebab itu kali kedua dipercaya di kelas teenager memaksa saya belajar untuk mendekati mereka secara personal, lebih dalam secara langsung, berbicara secara perlahan dan memberi contoh paling dekat; saya. Salah satu dari mereka menarik perhatian saya, baru saja ia bergabung di pertengahan kelas, “Muhammad Ariga,” dia memperkenalkan diri. Kami para guru impian sering menggodanya dengan sapaan “arigatou gozaimasu” yang bermakna “terimakasih” dalam bahasa Jepang. Komunikasi singkat malam itu berujung pada ketertarikannya mengenal ulang para guru impian baru di tahun ini. Sesekali dia mencoba memengaruhi temannya, membawa mereka duduk di satu meja yang sama dan berbagi bersama kami, (sebenarnya kami belajar di alam, jadi tidak menggunakan meja).
Baru-baru ia juga sempat menyampaikan tentang banyak teman seusianya yang juga ingin belajar bersama, namun rasa malu kembali menjadi kedala terbesar. “Padahal kan kak, untuk apa juga kita malu dalam belajar, kalau malu bagaimana mau bisa. Ya kan, kak.” Terang Ariga mengeluhkan keengganan temannya. Toh dia sudah lupa, minggu lalu dia adalah anak yang ditegur Bu Datok (sebutan istri kepala desa di daerah ini) karena enggan belajar bersama kakak-kakak di perpustakaan dengan alasan malu. Kemauannya itu menjadi syukur tersendiri bagi saya dan Uma. Toh anak-anak selalu begitu, mereka butuh waktu untuk mengenal, butuh ruang untuk mendekatkan diri. Jikalau prosesnya berhasil, tentunya kita akan menjadi salah satu orang yang mereka percayai.
Kelas favoritnya adalah fotografi, kelas yang membawa mimpi mereka menjadi fotografer. Kami memberikan pemahaman bahwa selembar foto yang kita ambil melalui kamera dapat bercerita banyak hal, lebih banyak dari apa yang saya tulis dalam esai ini. Bahkan lebih dalam dari sekedar ungkapan empat mata, kisah tentang foto yang dapat menyelamatkan banyak orang, atau mencelakai orang lain, tergantung dari bagaimana kita membidik sudut pandang (angle) yang tepat. Saat mereka bertanya tentang konsep foto yang bagus, saya belajar dari seseorang jawaban sederhana bahwa foto yang bagus, adalah foto yang enak dipandang, yaitu foto yang kamu sukai.
Meski begitupun banyak kemudahan yang saya dapati pada penempatan kali kedua ini, teman-teman yang selalu siap sedia membantu, Ibu Datok yang senantiasa mendukung, dan anak-anak di kelas teenager saya tercinnta yang selalu penuh dengan pertanyaan. Di balik semua keterbatasan mereka dalam belajar, kami para guru impian selalu mengusahakan yang terbaik untuk mereka. dari hati terdalam. Saya mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya karena telah mengajarkan saya hal baru diluar konsep ilmu pengetahuan yang baku.
Ditulis oleh Dinda Triani