Ditulis oleh Rian
Catatan dari sebuah orientasi fisik
Menjadi relawan membutuhkan berbagai persiapan yang harus dibekali sejak awal baik mental maupun fisik. Selain niat yang baik dan pengetahuan tentang sesuatu, seorang relawan juga membutuhkan fisik dan tenaga yang memadai supaya tubuh kami lebih tahan dan tidak mudah lelah pada saat melakukan kegiatan-kegiatan kerelawanan tersebut.
Mendaki adalah salah satu cara aku dan teman-teman dilatih untuk memperkuat fisik kami sebagai calon relawan Rumah Relawan Remaja (3R) yang akan terjun ke desa-desa terpencil dengan berbagai kondisi alam. Pendakian dimulai dengan pembekalan latihan fisik dengan melakukan latihan jogging di garis pantai Peukan Bada selama dua hari dan diakhiri dengan latihan di gedung Evakuasi Tsunami dengan beban punggung yang semakin bertambah hingga mempersiapkan perlengkapan seperti tenda, logistik, matras, senter, nesting, carrier dan perlengkapan lainnya. Selama lebih kurang dua minggu kami menyicil satu persatu peralatan yang dibutuhkan nanti saat pendakian. Walaupun beberapa peralatan tak kunjung kami dapatkan dikarenakan berbagai keterbatasan yang ada, namun menjelang H-1 barang-barang kebutuhan dapat dilengkapi.
Hari yang direncanakan pun tiba. Perjalanan menuju tempat pendakian dilakukan pada pagi hari Sabtu (19/9) dengan menggunakan truk pengangkut pasir milik salah satu warga. Satu persatu carrier berisi peralatan dan logistik yang telah siap dikemasdiangkut ke dalam truk tersebut disusul dengan peserta pendakian yang menaiki truk. Setelah memastikan tidak ada lagi yang tertinggal, sang supir pun langsung menancap gas dan mulai menggiling jalanan.
Perjalanan terasa sangat menyenangkan bagiku walaupun pernah beberapa kali menjadikan mobil pengangkut barang sebagai alat transportasi. Namun kali ini berbeda karena ini merupakan pengalaman pertama menikmati kota Banda Aceh dari dengan menggunakan mobil bak terbuka bersama teman-teman baru dengan keunikan yang masing-masing mereka miliki. Canda tawa di dalam sepetak besi dingin di belakang pak supir begitu terasa selama perjalanan. Mulai dari lemparan joke receh yang dilempar entah dari mana pula kidungan yang sesekali terdengar bercampur dengan suara angin akibat mobil yang melaju kencang. Saat truk mulai memasuki area pengerukan tanah pembangunan jalan tol, terdapat berbagai rintangan seolah menantang sang supir untuk melawan jalur yang terjal, sebagian menjadi licin akibat hujan semalam serta berlumpur. Pertarungan melawan ganasnya jalan berlangsung selama lebih kurang satu jam. Sesaat sebelum sampai di titik start pendakian tiba-tiba ban mobil truk telah menginjak lumpur dan menenggelamkan setengah dari ban tersebut sehingga memaksakan kami untuk mendorongnya keluar dari jebakan lumpur. Dibutuhkan kerja sama dan juga taktik yang benar agar dapat melepaskannya.
Setelah bergelut dengan lumpur yang begitu melelahkan, perjalanan pun dilanjutkan hingga sampailah kami di titik awal pendakian. Seakan kedatangan kami disambut oleh alam, hujan langsung mengguyuri kami seiring dengan berhentinya truk pada siang itu. Seketika kekalutan menyelimuti kami karena harus segera memakai jas hujan untuk menutupi kepala dan pakaian dari tetesan hujan yang kian lama kian deras sebelum hujan tersebut membasahi seluruh pakaian kami. Beberapa menit berlalu, semua jas warna warni telah terpasang pada setiap badan sekaligus menandakan bahwa perjalanan siap dimulai.
Beratnya carrier ditambah lagi cuaca yang sedang hujan menjadi tantangan tersendiri bagiku saat mendaki Cot Tulo Po ini. Jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, cot dapat diartikan sebagai bukit, sedangkan tulo po berarti burung terbang. Bukit ini memiliki ketinggian di bawah 1000 meter di atas permukaan laut (mdpl). Walaupun tergolong rendah, namun memiliki jalur yang panjang dengan bebatuan besar yang menyebar di sepanjang perjalanan sehingga akan tetap terasa melelahkan. Setapak demi setapak kaki melangkah akhirnya sampailah di pemberhentian pertama untuk beristirahat. Hujan masih turun walau tak selebat tadi. Perjalanan dilanjutkan kembali sampai pemberhentian selanjutnya dan begitu terus hingga sampai di titik mata air untuk makan siang dan shalat.
Selesai makan siang dan shalat, serta berkemas kembali, kemudian perjalanan kembali disusuri. Selama perjalanan kami saling membantu, saling memberi semangat, juga sesekali diselingi oleh lelucon yang ampuh mengurangi sedikit rasa lelah di dalam berjalan.
Puncak telah terlihat di depan mata menandakan akhir dari perjalanan kami. Lega. Meletakkan carrier adalah salah satu nikmat yang aku rasakan selama perjalanan. Namun kali ini lebih terasa nikmat karena telah berada di akhir. Kami beristirahat sambil menikmati kota Banda Aceh dari ketinggian bukit.
* * *
Pendakian singkat ini memberiku banyak pelajaran. Pertama, kita bekerja sebagai tim jadi harus adanya kerjasama. Kedua, mendaki membuat kita sadar akan perlunya menjaga alam. Ketiga, banyak hal tak terduga yang terjadi selama perjalanan sehingga membutuhkan kemampuan beradaptasi yang baik. Manfaat penting lainnya adalah kegiatan ini mengajarkanku untuk tidak menyerah dengan kondisi sulit. Semoga perjalanan kali ini menjadi pengingat pribadi untuk selalu belajar dimanapun dan kapanpun untuk menjadi pribadi yang lebih baik daripada sebelumnya serta semakin mendekatkan diri kepada Tuhan yang Maha Pengasih.