Peringatan hari perdamaian Aceh diperingati kembali oleh masyarakat Aceh. Namun, ada saja sejumlah masyarakat yang belum peduli bahkan lupa dengan hari penting tersebut, baik dari segi latar belakang maupun dampaknya. Apa yang masyarakat Aceh rasakan sekarang khususnya kehidupan nyaman dan aman bermula dengan nota kesepahaman antara Gerakan Merdeka Aceh (GAM) dengan pemerintah Republik Indonesia yang disebut dengan MoU (Memorandum of Understanding) Helshinki.
Sebelum ditandangani di Finlandia, perundingan perdamaian antara Aceh dengan Republik Indonesia diawali dengan JCM (Join Council Meeting) yang berlokasi di Tokyo, Jepang. Jangankan sebuah kesuksesan, perundingan ini malah memberikan hasil yang lebih buruk yang berupa sebuah operasi militer di Aceh yang menewaskan lebih banyak warga sipil daripada pihak yang berwenang sendiri.
Operasi militer meninggalkan luka yang sangat besar khususnya bagi rakyat Aceh. Perundingan rasanya tidak akan mempertemukan pihak Aceh dan Republik Indonesia. Hingga, tsunami pun melanda Aceh di tahun 2004.
Tepat setelah tsunami, perundingan antara pihak GAM dan Republik Indonesia terjadi dengan pertimbangan kondisi masyarakat Aceh. Saat itu, memalingkan wajah dari bantuan berupa perdamaian bukanlah opsi yang tepat. Makanya, setelah beberapa pembicaraan, lahirlah sebuah kesepakatan yang terdiri dari beberapa pasal yang disebut sebagai MoU Helshinki.
* * *
MoU (Memorandum of Understanding) Helshinki ditandangani di Finlandia pada tanggal 15 Agustus 2005 setelah 30 tahun konflik besar-besaran di Aceh. Saat itu, penyelesaian konflik di Aceh menjadi satu-satunya penyelesaian konflik terbesar di dunia. Bahkan, Susilo Bambang Yudoyono yang saat itu menjabat presiden terpilih sebagai kandidat penerima nobel perdamaian tahun 2008. Meskipun yang memenangi nobel perdamaian tahun 2008 adalah mantan presiden Finlandia, Marti Ahtisaari, yang juga berprestasi sebagai fasilitator perdamaian Aceh.
Terlepas dari kehidupan nyaman dan aman, ada beberapa pasal MoU Helshinki yang belum terealisasikan di Aceh. Seperti yang dikutip dari Kanalaceh.com, Directur Yayasan Aceh Kreatif, Delky Nofrizal Qutni mengumumkan ada 10 butir pasal yang belum dijalankan pemerintah. Diantaranya adalah pasal tentang legalisasi nama Aceh dan gelar pejabat senior oleh pihak legislatif Aceh setelah pemilu 2009. Pasal tentang perbatasan Aceh dengan Sumatera yang harus merujuk pada perbatasan 1 juli 1956, pasal tentang hak untuk menggunakan simbol, lambang, hymne dan bendera daerah, pasal tentang hak untuk menerima dana dari utang luar negeri, pasal tentang hak untuk menetapkan suku bunga yang berbeda dengan Bank Indonesia, pasal tentang pihak audio luar yang harus melakukan verifikasi atas pengumpulan dan pengalokasian dana yang dilakukan pemerintah pusat terhadap Aceh, pasal tentang pembentukan sistem peradilan yang tidak memihak dan independen, termasuk didalamnya pembentukan pengadilan tinggi di Aceh, pasal tentang alokasi tanah pertanian dan dana yang memadai kepada mantan GAM, tahanan politik yang memperoleh amnesti dan juga warga sipil yang menerima kerugian akibat darurat militer, pasal tentang pembentukan komisi untuk mengurus klaim yang tidak terealisasikan dan pasal tentang pasukan GAM yang bisa diterima sebagai polisi dan tentara organik di Aceh tanpa adanya diskriminasi.
* * *
Banyak dari masyarakat Aceh yang menaruh pandangan negatif pada pemerintah pusat dan pemerintah Aceh mengenai pasal-pasal yang belum terjalankan ini. Namun, hal yang perlu digarisbawahi adalah sangat sedikit masyarakat Aceh yang memandang sisi keberhasilannya, yaitu 61 pasal MoU Helshinki yang sudah terjalankan. Perdamaian yang sudah masyarakat Aceh jalankan terhitung dari tahun 2005 tidak bisa dan tidak boleh dirusak oleh beberapa pasal dari nota kesepahaman yang belum terjalankan. Jagalah perdamaian ini dengan keseriusan dalam belajar dan kebijakan dalam berperilaku. Dari sisi keseriusan belajar, kita harus mengetahui sejarah Aceh dari periode awal hingga periode akhir, sehingga kesimpulan yang kita miliki tidak semerta-merta menguntungkan ataupun merugikan satu pihak. Dari segi berperilaku, jangan jadikan kontroversi sebagai dasar konflik! Jangan jadikan perang sebagai solusi atas suatu masalah! Contohnya, saat pandemi yang merugikan segenap lapisan masyarakat sedang berlansung, banyak sekali kontroversi yang terdistribusi, yang mana jika ditindaklanjuti dengan sikap yang ceroboh. Hal ini bisa saja menghancurkan keutuhan Republik Indonesia. Maka dari itu, prioritaskan perdamaian! jauhi segala kontrovesi dan prasangka buruk terhadap siapapun baik itu pemerintah maupun masyarakat!
Ditulis oleh Rizka Malda Phonna