

Pagi itu, 12 Desember 2024. Udara Lampulo terasa hangat dengan sinar matahari perlahan menyapa. Di antara kepadatan rumah penduduk, terdapat satu rumah yang di atasnya ada sebuah kapal besar. Dari kejauhan kapal tersebut begitu mencolok, karena posisinya tak lazim, berdiri kokoh di atas rumah seperti tak tergoyahkan waktu. Warna kayunya yang mulai memudar, kontras dengan latar belakang perkampungan dan langit pagi yang cerah. Di bawahnya terdapat dinding rumah yang tidak lagi utuh, tak ada pintu atau pun jendela sehingga memudahkan kita keluar masuk di dalamnya.
Anak-anak BUMOE Learning Community melangkah pelan, hari itu mereka Thursday Adventure ke Lampulo, tepatnya ke kapal di atas rumah. Sudah jadi hal rutin setiap hari Kamis, anak-anak melakukan petualangan. Bulan Desember bertepatan dengan peristiwa tsunami. Sesuai tema pembelajaran di bulan itu berupa “Alat Komunikasi,” anak-anak dibawa ke salah satu tempat peninggalan tsunami yang dijadikan sebagai alat komunikasi satu arah dalam memahami kejadian masa lalu.
Mata mereka terpaku pada kapal yang menjadi saksi bisu tragedi Tsunami Aceh dua dekade lalu. Sayup-sayup terdengar bacaan doa dilantunkan oleh seorang perempuan, suaranya menyatu dengan hembusan angin yang menyapa kapal di atas rumah. Di sekelilingnya, para wisatawan dari Malaysia duduk dengan khidmat sambil mengadahkan tangan larut dalam keheningan.
Dengan rasa ingin tahu, anak-anak memasuki ruangan di setiap rumah yang terendam kenangan. Mereka memandangi dinding-dinding yang masih menyimpan jejak waktu, berusaha memahami makna dari setiap benda yang tersisa. Di sebuah ruangan tertulis, hampir seribuan nama korban tsunami Aceh yang berasal dari Gampong Lampulo. Anak-anak membaca nama-nama yang tertulis dan mencari apakah ada nama yang sama dengan nama mereka atau orang tuanya.
Bunda Yelli juga membacakan sebuah tulisan yang diukir di atas batu sebagai informasi tentang kapal tersebut. Rupanya pada saat kejadian tsunami 2024, kapal ini sedang berada di sungai Lampulo. Kemudian saat gelombang tsunami tiba dengan kekuatan laur biasa, kapal tersebut terangkat bersama puing-puing lainnya dan terbawa arus yang ganas. Hingga akhirnya berlabuh di sebuah rumah besar milik H. Misbah.
“Saya sudah pasrah saat itu, dan saling meminta maaf dengan orang-orang yang juga terperangkap di rumah itu. Air sudah setinggi leher dan kami mengapung-ngapung, hingga akhirnya datang kapal besar menabrak rumah. Seakan inilah pertolongan Allah SWT. Kami pun naik ke atas kapal dan Alhamdulillah ada 59 orang yang selamat.” Ucap Wak Kolak (80 tahun) yang menjadi saksi hidup kejadian tsunami 20 tahun silam. Mendengar cerita Wak Kolak, anak-anak terdiam dengan wajah takjub membayangkan bagaimana sebuah kapal nelayan bisa terdampar di atas rumah. “Kok bisa Wak naik di atas kapal itu, gimana caranya?” tanya salah satu anak. Wak Kolak pun melanjutkan cerita bagaimana mereka saling bantu menaiki kapal, dan saling menguatkan di tengah ketakutan, hingga mereka semua selamat. Anak-anak mendengarkan dengan mata berbinar, seakan membayangkan kejadian luar biasa itu seperti dongeng yang penuh perjalanan.
Ditulis oleh Yelli Sustarina