Jika kalian mengujungi desa Bah sekarang, kalian pasti akan disambut dengan pemandangan asri gunung hijau yang mengelilingi desa tersebut. Pustaka Kampung Impian letaknya tepat di pertengahan desa ini. Jadi, pemandangan gunung dapat dilihat samping kiri, kanan, dan belakang. Sangat indah. Itulah kalimat yang pertama kali saya lontarkan saat sampai di desa ini. Namun, seperti setiap tanah di negeri ini, desa Bah juga memiliki sejarah yang sangat pahit.
Pada tahun 2013, gempa yang berkekuatan 6,2 SR mengguncang kabupaten Aceh Tengah dan kabupaten Bener Meriah. Desa Bah yang letaknya di kabupaten Aceh Tengah memiliki korban yang dua kali lipat lebih besar daripada Bener Meriah. Gempa ini sangat besar sampai bisa dirasakan di Malaysia.
Desa Bah merupakan salah satu desa yang berdampak besar dari gempa dahsyat tersebut, sebagian bidang tanah desa saat itu luruh dan menjadi bagian dari sungai dibawahnya. Setelah gempa, desa ini sempat juga terisolasi selama dua hari dan juga baru dievakuasi setelah tiga hari.
Aksi penanganan dari presiden SBY saat itu sangat bermacam, namun, yang diprioritaskan adalah pemulihan pada sektor pemukiman rumah rakyat. Rumah-rumah bantuan ini sekarang merupakan rumah-rumah yang ditinggali oleh mayoritas masyarakat desa Bah. Bahkan, Pustaka Kampung Impian juga bernaung di bawah rumah bantuan ini. Sebuah rumah yang bisa ditempati oleh sebuah keluarga, dua buah kamar dengan ruang tamu yang sangat lebar. Berdasarkan ungkapan dari Jalika (62) yang merupakan salah satu korban gempa gayo tahun 2013 di desa Bah. “ Saat itu, saya lagi di pasar Angkop, jam 15.00, sedang menjual cabe dari kebun saya. Di sana gempa juga sangat terasa. Saat saya pulang, semuanya seperti debu. Bah dan Serempah tidak tampak lagi. Saya tinggalkan motor saya di gunung, kemudian turun berjalan kaki menuju desa Bah.” Pak Jalika saat itu juga kehilangan cucu kesayangannya, ia menambahkan kalau desa Bah itu tidak separah Serempah. Korban di desa Bah hanya 5 orang yang mana merupakan anak-anak kecil yang terbawa sungai karena saat gempa sedang bermain di sungai.
Sekolah yang satu-satunya terletak di desa Bah merupakan sekolah dasar yang kelasnya hanya 6. Menurut pak Adnan (kepala sekolah desa Bah), sekolah dasar ini hanya memiliki 6 guru, fasilitas di sini tidak memadai, kurikulum bahkan baru dibuat saat ia ditempatkan 3 bulan yang lalu. Memang sekolah ini sangat memprihatinkan, kelas 6 saja harus diletakkan pada sebuah ruang hanya berdinding dan beratap seng, “kelas kami menyedihkan kak,” kata seorang murid kelas 6 saat saya datang mengujungi kelas mereka. “Tapi kelas kalian dingin daripada kelas lain.” Hanya kalimat itu yang bisa saya ungkapakan untuk menyenangkan mereka.
Desa bah meskipun letaknya di pedalaman, warganya bukanlah warga terbelakang. Meskipun di sini ada anak-anak yang putus sekolah hanya karena tidak bisa membaca atau alasan lainnya, ada juga anak-anak yang sudah menjadi sarjana. Fluktuasi pendidikan desa bah memang sangat unik.
Kepedulian pada pendidikan di desa ini memang bisa dikategorikan lumayan besar. Belum lama ini, desa ini mengadakan MTQ tingkat desa. Ada lomba adzan, hafalan surat pendek, do’a sehari-hari, dan salat jama’ah. Berdasarkan info dari sekretaris desa Bah, hanya desa tersebut yang menggunakan dana desanya untuk perlombaan bertemakan pendidikan. Perangkat desa Bah tampaknya sangat berdedikasi untuk memajukan pendidikan di desa Bah. Bagi mereka, pendidikan itu merupakan elemen penting kalau ingin memajukan desa.
Ditulis oleh Rizka Malda