Baling Karang, Dikau yang Sekarang

Aku di sini, di lembah perantauan, Baling Karang. Desa kecil nan terpencil, jauh terasing dari ramainya hiruk pikuk kota Kuala Simpang. Arungi 4 jam perjalanan menyusuri sungai atau 3 jam dengan kendarai kuda besi agar bisa bersua mata dengan desa ini. Berada pada ujung kabupaten Aceh Tamiang, berbatas selatan dengan kecamatan Simpang Jernih, Aceh Timur. Baling karang, adalah desa kesasar yang berbeda dengan kawasan lain di seluruh Aceh tamiang, berbahasakan Gayo yang berdialek kasar, 2016 pernah ada kunjungku kesini, tidak ada yang berubah hanya sungai dan desa itu saja. Kali kedua kunjungku ini, bangkitkan lagi cerita masalah lalu, deru banjir bandang yang pernah telankan desa ini hingga ke perumahan penduduk, membawa semua mimpi yang telah terwujud dan kini meninggalkan hanya harapan dan semangat.

            Kini Baling Karang telah terjaga, usikan bumi untuk muncratkan kekayaannya, menanam sawit, menjala ikan dan membabat hutan adalah usaha yang ditekuni agar dapur tetap mengepul.

Dalam tulisan ini akan kukisahkan jasa antar jemput yang tidak modern. Getek, mahakarya para ahli penempa besi yang telah ciptakan sebuah perahu besi berperan seperti feri, bolak balik pergi mengantarkan tubuh- tubuh bermacam rupa dan watak. Getek ini seperti getek selazimnya, tak bermesin tak pula berdinding dan beratap, hanya susunan pelepah daun sawit yang dianyam seenaknya. tak kala hujan, tak perlu ditanya lagi sandang yang dikenakan. Namun, ada tidaknya mesin bukan perkara serius baginya untuk terus bisa mengantarkan penumpangnya. Alur sungai, mahadaya sang Tuhan yang membantunya untuk tetap bisa mengantar, tunaikan tugas mulianya. Tak ayal, tenaga air pun menjadi masalah, terkadang amukannya yang besar pun  timbulkan masalah baru. Besi tua ini dibawa hingga tersangkut ke atas daratan, ke atas rerumputan mamahan ternak dan terkadang tenaga satu kampung dikerahkan untuk kirimkan besi tua ini kembali ke air. Saat masalah itu terjadi, dengan terpaksa para pemburu aksara harus dayungi sampan seberangi riaknya sungai. Jangan tanya lagi kabar seragam dan sepatu, semua berkalang lumpur dan air, apa yang dibawa ke sekolah ? Hanya semangat belajar yang akan disuguhkan kepada para guru. Namun, perjuangan tidak berhenti disini kawan. Setelah jungkir balik mendayung sampan, mereka harus berjuang meniti langkah, sebuah titian langkah yang sangat jauh untuk menuju sekolah, dan tak ayal cercaan guru karena keterlambatan menjadi sarapan pagi nan nikmat bagi mereka. Semua ini hanya karena masalah dengan getek yang tersangkut.

Ditulis oleh Arif Munandar (2017)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *