Menulis tentang gempa yang pernah
terjadi di desa Serempah memang sesuatu yang baru. Ada banyak penjelasan mengenai
detail gempa ini. Namun, ada satu hal yang hilang yakni cerita pribadi rakyat
sendiri. Satu minggu di kampung ini memberikan saya kesempatan untuk menelusuri
lebih lanjut mengenai cerita dari masyarakat Serempah. Cerita dari mereka
tentunya membuat saya lebih bisa merasakan kepedihan gempa tersebut.
Bu Mistiani (30 tahun) menjelaskan bagaimana rumah mereka hancur sehingga susah
untuk mengambil beras dan bahan pangan lainnya. Desa Serempah yang masih
terisolasi pasca gempa membuat ibu Mistiani harus meminta beras dan lauk
lainnya kepada masyarakat desa lainnya yang bisa menyelamatkan pangan mereka. Dia
juga menjelaskan bagaimana kehidupannya saat mengungsi. Mereka hanya mengungsi
selama sebulan di tenda pengungsian kemudian pindah ke kebun untuk membuat
rumah seadanya. Rupanya pemerintah juga membagikan seng dan triplek agar masyarakat
bisa membuat rumah mereka sendiri. Ada yang tinggal di sawah, kebun, bahkan di
lapangan. Dia dan keluarga pun harus tinggal selama seminggu di kebunnya karena
serempah saat itu sedang direlokasi.
Ibu Nuraini (40 tahun) memiliki cerita lain, yaitu rumahnya diseruduk oleh
mobil beko. Anaknya sampai sekarang belum ditemui jasadnya. Kepedihan ibu Nuraini
memiliki dampak sampai sekarang . Saat ibu ini mempersilahkan kami untuk
tinggal di rumahnya, ibu ini pun berkata “ibu teringat saat ngungsi. Ibu
harus pindah-pindahkan barang ke rumah ini dan ke rumah itu, sama seperti
kalian. Makanya, ibu tak tega”. Itu
yang disampaikan oleh ibu Nuraini saat melihat kami mencari-cari rumah yang
bisa kami tempati di Serempah. Ada beberapa kali kami harus pindah ke
rumah yang satu ke yang satu lainnya karena rumah yang akan kami tempati belum
jelas perizinannya.
Itulah hasil informasi yang bisa saya dapatkan. Mungkin jika kita menginjakkan kaki di Serempah sekarang, spanduk keluarga miskin itu tertempel di setiap rumah warga, termasuk bapak Kepala Desa. Sekolah meskipun sudah bagus, gurunya sangat minim. Puskesdes hanya ada infrastrukturnya saja, tidak ada bidan atau obat. Sangat mengharukan bagi kita yang saat ini sedang hidup enak di kota-kota.
Ditulis oleh Rizka Malda Phonna