RI Nol KM

Tugu Mercusuar Willem's Toren yang dibangun oleh belanda pada tahun 1875

Tugu Mercusuar Willem’s Toren yang dibangun oleh belanda pada tahun 1875

Guyuran hujan dan angin kencang itu tidak meredupkan cahaya muka teman-teman yang sudah menobatkan dirinya untuk berbagi di pelosok negeri. Disinilah aku berjumpa dengan hati-hati jernih, yang rela menghabiskan umurnya walau harus mengorbankan pekerjaan pribadi. Hari Sabtu tersebut, tepatnya awal Desember pada tanggal 3 tahun 2016 kami melakukan perjalanan perdana menuju daerah penempatan dalam program membangun pustaka di desa-desa terpencil.


Rinon, itulah desa yang kami impikan. Berharap penuh doa akan harapan, berjumpa dengan sejuta senyum dari anak pulau, walaupun suasana yang redup dan ayunan gelombang membuat perahu seakan merangkak atas lautan. Suhu dingin menusuk pori-pori memaksaku dan teman-teman untuk berlindung dalam plastik yang berisik itu. Bersabar dengan penuh harapan diselingi canda tawa mengingat perjuangan, akhirnya perjalanan 2,5 jam itu pun terlewati.
Berkisar pukul 18.00 WIB kaki kami menginjak dermaga Lem Bale, salah satu nama dusun di desa Rinon. Hujan yang begitu deras, angin yang begitu kencang, gelombang seakan tak bersahabat, memaksa kami cepat memindahkan barang-barang dari perut boat ke mobil pick up. Ranselku yang 60 liter menjadi saksi bahwa hari itu sebuah kehidupan baru akan dimulai. Bersama dengan 5 anggota lainnya kami menuju rumah seorang pustakawan lokal yang hebat, “Kak Mariko” kami memanggilnya.

Rumah Perpustakaan Kampung Impian Desa Rinon, Pulo Aceh

Rumah Perpustakaan Kampung Impian Desa Rinon, Pulo Aceh

Aku mengingat seduhan kopi panas di rumah tersebut, sambil membuka kotak-kotak buku yang basah, menyelamatkan jendela dunia yang menjadi tumpuan anak bangsa. Jujur, minum kopi saat itu membuat kami merasakan nikmatnya seperti iklan di televisi. Setelah makan malam dan membereskan semua perlengkapan, kami laki-laki menuju satu rumah kosong yang berjarak sekitar 251 langkah. Mengatur langkah di atas jalan beraspal, diantara rintikan hujan yang masih tersisa, sempat melewati jalan setapak hingga akhirnya kami menemukan rumah yang gelap itu. Aku mulai mengandalkan headlight ku, mencari saklar lampu yang tertempel di dinding rumah namun keberuntungan belum memihak kepada kami karena setiap fitting rumah tersebut tidak memiliki lampu.

Bermodalkan dua cahaya senter diantara kegelapan malam tersebut, kami membentangkan ambal berukuran 2×2 meter diantara gantungan hammock yang diikat pada kosen jendela. Pada malam itu aku bersama kawanku yang berstatus guru impian memejamkan mata pertama di atas gumpalan baju yang dijadikan bantal, sedangkan 2 sahabat lainnya berusaha tidur diiringi ayunan hammock mereka. Suara anjing yang terus menggonggong diantara kesunyian malam, cuaca dingin di bawah perbukitan mengantarkan kami pada mimpi indah malam itu.
Suara alarm handphone merupakan tanda bahwa waktu shalat shubuh telah datang. Aku menghempaskan kain selimut yang bagitu tebal, melakukan shalat subuh yang sudah menjadi kewajiban. Setelah melakukan salam dari ritual agama islam tersebut, aku menolehkan muka kekanan dan melihat kabut yang sedang menyelimuti pergunungan. Kakiku melangkah tanpa harus diperintah karena penasaran suasana alam yang begitu indah. Deretan pergunungan yang diselangi area persawahan seakan aku dan kawan-kawan sedang berada di villa kota hayalan. Sejuta indah alam tersebut sudah menjadi kebiasaan bagi masyarakat di desa ini karena mata pencarian mereka tidak luput dari pergunungan, sawah atau lautan. Mulai dari anak-anak, perempuan hingga laki-laki, semua bekerja untuk menafkahi keluarganya.

 

Kami bertiga hidup di desa ini selama 23 hari, berusaha mencurahkan sejuta motivasi dan ilmu dengan harapan mereka menjadi pelita di negeri sendiri. Mulai dari jam 14.00-15.30 wib kami berbagi ilmu dengan siswa-siswa setara sekolah dasar. Mengajak mereka untuk terus membaca setiap lembaran buku walaupun kemampuan membaca masih terbata-bata tapi kami yakin suatu saat mereka akan keliling dunia lewat bacaannya.
Hari demi hari kami lewati, berbagai macam tantangan kami lalui, seribu satu cerita indah mengukir perjalanan hidup kami. Sungguh aku tidak bisa melupakan desa Rinon, nama desa hasil plesetan dari kata RI nol. Petuah sejarah yang mereka yakini perbatasan negara Indonesia ada di Pulo Aceh, bukan pulau Sabang walaupun di sana sudah ditancapkan tugu indah yang menarik perhatian bagi wisatawan.
Banyak sejarah yang aku ketahui berdasarkan cerita masyarakat, termasuk asal muasal diberi nama Pulo Nasi dan Pulo Breueh. Kedua pulo tersebut merupakan bagian dari Pulo Aceh. Dulu para manusia yang menuju pulo tersebut menggunakan perahu layar. Menghabiskan waktu berhari-hari dalam ayunan ombak lautan untuk dapat menepi kedaratan demi mengais rezeki. Jika mereka menuju pulo yang dekat, mereka hanya membawa nasi sebagai bekal selama perjalanan. Pulo tersebut dikenal dengan nama Pulo Nasi. Sedangkan masyarakat yang menuju Pulo Breueh mereka harus mempersiap beras karena perjalanan yang lebih lama.

Dari zaman dulu Pulo Aceh memang dikenal dengan tanah yang subur, baik itu cengkeh maupun kelapa. Hingga sekarang masyarakat di sana banyak mengis penghasilan melalui tanaman cabe rawit bahkan mereka mengekspornya ke Banda Aceh. Sedangkan tanaman kelapa masih menjadi saksi hidup bagi kehidupan mereka, meskipun sangat disayangkan karena buah kelapa sering dipetik oleh monyet.
Selama di desa yang dekat dengan dua dermaga itu, aku sangat sering mengoleksi sejarah kehidupan mereka. Aku mendengarkan kisah-kisah masyarakat ketika tragedi tsunami, dimana mereka bercerita seakan itu kejadian bulan yang lalu. Kadang-kadang aku lupa waktu hingga kawanku mengajak aku pulang karena lantunan azan magrib yang akan berkumandang.
Perjalanan aku disana berakhir diujung bulan desember 2016. Melalui dermaga desa Alue Raya, tepatnya jam 05.00 pagi aku bersama kawan-kawan mengusung ransel yang berat itu. Sampai dipersimpangan jalan kami menitipkan tas itu di mobil pick up, aku bersama satu kawan lainnya diantar kerdemaga tersebut menggunakan sepeda motor. Suasana yang gelap dan gemuruh ombak yang berpola, hanya lampu senter awak boat yang menjadi cahaya ketika itu. Aku melihat handphone ku, jam menunjukkan pukul 05.40 wib. Pawang boat mulai menggunakan keahliannya, ucapan bismillah menjadi doa memulai perjalananku dan aku berharap semoga dapat kembali menginjak kaki di kepulauan ujung Indonesia tersebut.

Proses Belajar Mengajar Guru Impian Kelas Membaca Terbata-bata

Proses Belajar Mengajar Guru Impian Kelas Membaca Terbata-bata

 

Hasil Karya Kampung Impian Anak-Anak Desa Rinon

Hasil Karya Kampung Impian Anak-Anak Desa Rinon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *