Semenjak duduk di bangku perkuliahan, saya yang dulunya lebih banyak berkecimpung dalam lingkungan Pers Kampus memiliki ketertarikan yang tinggi terhadap kegiatan sosial, terutama yang berhubungan erat dengan kerelawanan. Hal tersebut juga yang menyebabkan saya begitu antusias untuk selalu mencari pengalaman dalam kegiatan semisal.
Beberapa kali juga saya berusaha bergabung dalam organisasi kerelawanan, beberapa kali juga mengikuti kegiatan sosial yang difasilitasi oleh Universitas dan Fakultas yang dikemas dalam rangkuman kegiatan bakti sosial. Tidak hanya sampai di situ, saya merasa pengalaman yang sedikit itu juga belum cukup untuk memuaskan dahaga saya menjadi relawan, dengan dalih bermanfaat untuk sesama, saya meraba, berkelana mencari kegiatan dan komunitas yang dapat menampung saya untuk belajar tentang kehidupan.
Dunia baru saya dimulai setelah penyematan resmi gelar sarjana itu. Semuanya tidak terasa baik-baik saja setelah lelah yang berlarut-larut. Kemudian baru terpikir oleh saya mana yang lebih baik. Bekerja atau melanjutkan lagi pendidikan yang saya rasa masih begitu dangkal dengan sedikitnya pengalaman tentang kehidupan. Seolah tidak cukup semua itu untuk terjun ke masyarakat
Akhirnya, saya melakoni pekerjaan dengan coba-coba, masih ada rasa gelisah di hati, tidak serta merta mempunyai pekerjaaan mengobati semuanya. Di saat berkelana mencari pekerjaan yang cocok dan memenuhi diri dengan bekal melanjutkan pendidikan, sebuah kesempatan besar menggoda saya untuk berbelok dari jalan lurus itu. Sebuah pilihan yang kemudian memetakan ulang tujuan hidup saya.
Mereka tawarkan menjadi “Guru Impian” yang dikemas dalam kegiatan “Pustaka Kampung Impian” dengan konsep berbagi bersama anak-anak dan belajar hidup bersama masyarakat di beberapa desa terpencil di Aceh dalam jangka waktu setahun penuh. Damai saya terusik, bukan mudah meyakinkan hati untuk tidak mencoba sama sekali, tapi siapa yang siap menyesal untuk tidak mencoba kesempatan itu. Impian saya menjadi guru, impian saya berbagi bersama anak-anak di daerah-daerah terpencil. Keinginan saya untuk belajar dari anak-anak. Kesempatan saya untuk belajar akan pelajaran hidup secara nyata.
Akhirnya keyakinan yang didukung oleh permohonan pada Allah membawa saya menjadi salah seorang anggota dari sebuah komunitas” Rumah Relawan Remaja” yang namanya pun baru sekali saya dengar. Sesingkat itu pula saya jatuh cinta dengan latar belakang, aktivitas, dan orang-orang didalamnya. Sesederhana kata cinta pada pandangan pertama. Namun rumitnya, saya punya banyak sekali tugas untuk belajar dari bawah, awal sekali, tentang disiplin, sabar, menjadi dewasa, dan seluruh rangkuman dalam pelajaran hidup.
Tidak menunggu lama, titik awal perjalanan itu dimulai dari salah satu desa terpencil bagian dari Pulau Aceh kecamatan Aceh Besar, Lapeng. Desa dimana kebanyakan anak terpaksa harus berhenti di bangku pendidikan Sekolah Dasar karena beberapa faktor, seperti keadaan ekonomi, hingga jarak sekolah yang sangat jauh dari desa, belum lagi kondisi jalan yang juga parah, berbatu, berlumpur. Bagi saya dan teman-teman yang mengenyam bangku pendidikan tinggi, bagaimana mungkin hal tersebut tak mengiris hati. Penempatan saya dan tiga orang lainnya guru impian selama sebulan yang tergolong singkat itu bukan berarti tak berkesan apapun.
Karena menjadi “guru impian” bagi saya sama artinya dengan menjadi orang yang menemani anak-anak untuk mengenal mimpi, meyakini impian, meski pada akhirnya, hanya mereka yang dapat mewujudkannya. Karena lagi, impian, bagi saya tidak pernah dibatasi oleh apapun. Menjadi sukses tak pernah didefinisikan dengan sederhananya lingkup profesi. Karena saya percaya, sejak awal, berani bermimpi telah menjadikan kita pribadi yang sukses mengatasi ketakutan menjadi orang besar.
Mungkin bagi orang-orang yang mendengar cerita sedemikian rupa, tentang guru impian akan berpikir bahwa saya dan teman-teman telah mengajarkan banyak hal kepada anak-anak, mengabdi untuk daerah dan negeri mencerdaskan anak bangsa dan sebagainya. Tapi, apa yang saya yakini bukanlah perihal yang sesederhana itu. Jauh dari apa yang terlihat, saya dan teman-temanlah yang belajar begitu banyak pelajaran dari anak-anak Desa Lapeng dan masyarakat pada umumnya, tentang kesabaran, tentang impian, tentang kejujuran, tentang nikmat Tuhan, tentang baik, tentang buruk, pelajaran hidup yang tidak saya dapatkan hanya dengan duduk mendengarkan ceramah dosen tentang “ini” dan “itu” di kampus.
Bertemu dengan anak-anak desa telah mengaduk emosi saya, memaksa saya belajar begitu banyak hal untuk menjadi dewasa, menjadi lebih bermanfaat. Renungan tentang perjalanan awal saya sebagai guru impian telah memberikan jawaban dari kegelisahan hati selama ini. Saya jelas tak lagi nyaman bekerja untuk diri sendiri. Saya yakin, sama seperti harta yang harus dikeluarkan zakatnya, sedikit ilmu yang kita dapatkan sejatinya juga harus dibagi. Tidak semua yang kita dapatkan merupakan milik kita. Saya percaya dalam bentuk apapun, dalam lingkup sekecil apapun selalu ada hal yang dapat kita bagi kepada sesama. Apa lagi yang akan tersisa dari diri manusia saat rasa kemanusiannya menghilang? Semoga semangat berbagi tidak pernah lelah ada dalam hidup kita sebagai manusia, karena dengan berbagi, kita akan merasakan menjadi manusia seutuhnya. Mengisi perjalanan hidup dengan pelajaran yang lebih bermakna.
Oleh Dinda Triani