“Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali.”
Kutipan dari Tan Malaka tersebut sejatinya cocok untuk orang muda yang menempuh pendidikan namun merasa lebih dari orang lain, apalagi masyarakat di desa. Beruntungnya, di tengah merebaknya individualisme, masih ada segelintir orang muda yang mau belajar tentang kehidupan dari masyarakat di desa-desa. Mereka pun memutuskan mengikuti Aceh Peace Camp 2018.
Meski beragam alasan yang dipaparkan saat mengisi aplikasi Aceh Peace Camp 2018 dengan tema Kampungku Sayang, mereka sejatinya ingin belajar untuk lebih memahami diri sendiri dan orang lain, untuk lebih melihat keindahan desa dan berbagai potensi didalamnya serta untuk lebih bermanfaat dengan berkontribusi nyata. Mereka pun mengikuti seluruh rangkaian Aceh Peace Camp yang dimulai dari Technical Meeting yang dilaksanakan tanggal 28 Juni, Orientasi Fisik di Gunung Cut Tu Lopo tanggal 30 Juni-1 Juli, orientasi kurikulum tanggal 3-6 Juli 2018, hingga penempatan di 5 desa terpencil di Aceh yang mulai dilaksanakan tanggal 7-15 Juli 2018.
Para peserta Aceh Peace Camp 2018 sangat antusias dan aktif mengikuti berbagai agenda kegiatan. Mereka pun dengan mudahnya melebur diantara sesama peserta meskipun awalnya tidak saling kenal. Sebuah langkah yang sangat baik sebelum mereka meleburkan diri di masyarakat desa.
Saat ini, para peserta yang berjumlah 35 orang ditempatkan di desa Bah dan Serempah di Kabupaten Aceh Tengah, desa Balingkarang di Kabupaten Aceh Tamiang, di desa Rinon dan Lapeng, Pulo Aceh di Kabupaten Aceh Besar. Di sana, mereka akan banyak belajar dari masyarakat desa serta menanamkan pemahaman tentang pentingnya menjaga desa atau kampung.