Ditulis oleh: Kasumah.

Undang-undang Cipta Kerja telah disahkan oleh Omnibus Law pada tanggal 5 Oktober 2020 untuk “kesejahteraan rakyat”. Rakyat telah ditawan oleh kesempatan yang menyemangati investor asing untuk mendirikan perusahaan di Indonesia. Pengesahan UU Cipta Kerja sendiri bertujuan untuk meningkatkan taraf ekonomi global untuk pembangunan Indonesia.
Om-ni-bus, diambil dari bahasa latin ‘omnis’ yang artinya ‘semua’. Omnibus law merupakan UU yang dapat mengatur (mengamandemen, memotong/mengubah) berbagai poin di berbagai sektor yang sebelumnya telah diatur. Undang-undang ini bisa menjadi senjata ‘sapu jagat’ terhadap regulasi yang telah dibuat. Artinya juga, ia bisa menjadi ancaman terhadap aturan perlindungan terhadap lingkungan, lagi-lagi demi memajukan ekonomi bangsa.
Perubahan akan Izin Lingkungan akan melemahkan posisi dokumen AMDAL (Anaslisis Mengenai Dampak Lingkungan), perlindungan keragaman hayati yang ada di dalam hutan akan terancam,bahkan kehidupan masyarakat adat akan ikut tergusur untuk pembangunan. Perubahan pada pasal-pasa penting terkait akan memperbesar resiko kerusakan akibat aktivitas usaha.
Nantinya UU Cipta Kerja ini akan mendatangkan para investor untuk mendirikan perusahaannya lalu rakyat bisa bekerja sebagai buruh harian lepas untuk investor asing. Hal ini persis seperi yang pernah diungkapkan oleh Tania Murrai Li dalam bukunya The Land’s End, kemiskinan terjadi ketika rakyat tidak memiliki akses terhadap tanah ulayatnya dan terpaksa bekerja sebagai buruh harian kepada pemilik modal. Dengan iming-iming akan memperoleh pekerjaan sebagai buruh, nyatanya banyak tenaga kerja yang diambil dari luar dan mereka memiliki kompetensi untuk bekerja pada perusahaan untuk dibayar mahal. Sementara tenaga kerja lokal dibayar lebih sedikit.
Kapitalisme tercipta dari ketiadaan akses masyarakat terhadap sumber ekonomi daerahnya sendiri, mata pencaharian masyarakat digantikan oleh praktik ekonomi perusahaan yang pada akhirnya membawa masyarakat untuk bekerja bersama perusahaan. Perolehan pekerjaan ini pun membawa masyarakar pada ketergantungan terhadap upah dari perusahaan tersebut. Masyarakat kembali miskin, tidak bisa berdiri sendiri. Demi terpenuhinya kebutuhan hidup sehari-hari, pekerjaan sebagai petani sudah tidak menjamin kehidupan keluarga.
Beragam pro dan kontra terhadap pengesahan UU Cipta Kerja ini baik dari kalangan aktivis hingga ke selebgram. Mereka yang Pro menyebut bahwa disahkannya Omnibus Law ini untuk membuat Indonesia menjadi tempat yang menarik untuk investor asing membangun pabrik sehingga ekonomi bisa berkembang lebih besar sehingga negara tidak terjebak dalam ekonomi yang katanya middle income trap. Dengan kata lain memang tujuan ini adalah meningkatkan investasi.
Menolak Investasi bukan berarti menolak pembangunan untuk kemajuan bangsa. Hanya saja perlu diperhatikan akan banyaknya kerusakan yang akan terjadi disertai penolakan dari berbagai pihak. Beberapa daerah bahkan menggelar aksi demo nasional untuk menolak UU Cipta Kerja oleh Mahasiswa hingga KSPI (Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia).
Tak selesai sampai di situ, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo untuk menyampaikan aspirasi serikat buruh yang menolak UU Cipta Kerja. Kita tidak bisa mengambil kesimpulan terhadap pro dan kontra ini, apakah akan berdampak terhadap pembatalan UU Cipta Kerja atau malah akan tetap berlanjut. Setiap dari kita selalu dihadapkan akan pilihan untuk hal yang lebih baik bagi kelompoknya namun apapun itu, keputusan tidak hanya untuk kepentingan sekelompok manusia, perlu diperhatikan juga dampak terhadap ekosistem di alam yang saat ini pun sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja.
Selanjutnya, mengutip kesimpulan dari Alianda Wafisa (Program Manager Banda Aceh) pada seminar daring bertajuk “UU Cipta Kerja Disahkan, Kita Bisa Apa?” yang diadakan oleh Aceh Documentary dan Perempuan Peduli Leuser (8 Oktober 2020), “Kita harus yakin bahwa kita punya kekuatan, tidak peduli kita punya pendidikan seperti apa. Tidak harus semua sama. Mari kita bekerja sama terhadap hal-hal yang kita sepakati bersama!
Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Pertanyaan ini akan saya jawab dengan kalimat penutup dari Farwiza Farhan, Chair Person of HAKA yang juga merupakan narasumber dari seminar daring yang saya sebutkan diatas. “Berdaulatlah secara pangan, kembali ke sawah, ke tanah orang tua, menanamlah terserah mau menanam dimana. Ada banyak hal yang bisa kita lakukan secara nyata. Temukan passion dan lakukan itu!”