Ditulis oleh: Rizka Malda Phonna
Secara umum, Bah merupakan desa yang baru saja dibangun kembali setelah gempa dahsyat pada tahun 2013 yang menewaskan empat orang penduduk dan merubuhkan sebagian rumah penduduk. Jika ditanya apa arti kata Bah, beberapa penduduk memiliki versi masing-masing. Ada yang mengatakan kalau Bah artinya adalah orang tua, ada juga yang mengatakan kalau Bah artinya adalah mangkuk besar. Hal ini diambil dari topografi Bah yang terletak di antara gunung, kemudian ada juga yang mengatakan kalau Bah artinya adalah air besar. Hal ini diambil dari keberadaan air sungai deras yang mengalir melalui desa Bah.
Bah sekarang dibagi menjadi dua, Bah Bawah dan Mahabah. Bah bawah merupakan desa yang dulunya terkena gempa. Ada beberapa rumah penduduk di sini, beberapa toko sembako dan puing-puing bangunan bekas gempa. “Dulu, SD kami disini kak, enak kali dulu disini. Masih teringat waktu naik-naik pagar kemarin itu,” kata salah satu remaja yang bernama Putri sambil menunjukkan puing-puing pagar sekolah yang berada di Bah Bawah. Beberapa penduduk yang masih tinggal di Bah Bawah enggan untuk pindah ke Mahabah karena mereka masih nyaman tinggal di sini.
“Masih teringat dulu kenang-kenangan di sini. Jadi, aku yang punya rumah di atas tinggal di sini juga,” kata salah satu Ine (ibu) yang enggan untuk pindah ke rumah yang sudah dibangun oleh pemerintah daerah di Mahabah.
Mahabah merupakan desa yang dibangun oleh pemerintah daerah setelah gempa 2013. Hanya membutuhkan waktu satu tahun bagi pemerintah daerah untuk membangun 100-an rumah. Mahabah awalnya adalah kebun warga yang kemudian diubah menjadi desa yang berpenduduk 170 Kepala Keluarga.
Kehidupan di Mahabah juga tidak dapat dikategorikan isolatif atau terbelakang karena tingkat urbanisasi di desa ini sudah tinggi. Banyak generasi muda yang meneruskan pendidikannya ke tingkat perguruan tinggi. Banyak juga yang merantau untuk mencari pekerjaan. “Banyak pendatang di desa ini. Pendatang inilah yang sebenarnya membuat perubahan,” kata salah satu ine, pemilik sebuah ruko di desa Bah.
Sumber ekonomi utama desa Bah adalah agrikultur. Setiap pagi kita bisa melihat keluarga Bah yang berpergian ke kebun, membawa snack (makanan ringan) dan minuman, juga anjing yang mengikuti mereka di belakang. Kadang ada juga yang memasukkan anjingnya ke bagian belakang mobil. Salah satu ine menjelaskan bagaimana ia memulai harinya untuk pergi ke kebun dengan menyiapkan snack (makanan ringan), beras dan garam yang kemudian dimasukkan ke dalam tas yang terbuat dari karung beras, tidak ada benda tajam atau peralatan kebun didalamnya karena semua peralatan sudah berada di kebun. Ine masak siang di kebun dari beras yang dibawanya tadi, kemudian beberapa sayuran yang langsung dipetiknya di kebun. “Makan di kebun itu nikmat sekali, tulang ikan saja rasanya sangat sedap,” jawab ine saat saya menanyakan bagaimana makanan yang ia masak di kebun. Ine biasanya akan pulang pukul 13.00 untuk shalat dzuhur, kemudian melanjutkan ke kebun sampai pukul 16.00.
Setiap hari, jalanan kecil desa Bah dilalui oleh beberapa keluarga yang pergi ke kebun. Kami sering menyebut mereka sebagai “orang yang memiliki berbagai profesi” karena kadang-kadang mereka memakai seragam suatu instansi pemerintahan, dan kadang memakai seragam sekolah untuk pergi ke kebun. Agrikultur memang mendatangkan ekonomi yang cukup bagi mereka. Namun swasembada pangan belum tercapai di sini. Masih banyak penduduk yang harus membeli bahan pangan di toko termasuk sayur, data PHK yang menyatakan kalau terdapat 30-an keluarga miskin juga merupakan bukti lain kalau swasembada pangan belum tercapai di desa ini.
Selain itu, kasus broken home juga banyak terjadi di desa yang mempengaruhi anak-anak bersosialisasi. Kondisi ini terlihat ketika bersama kami. Banyak anak yang kami kategorikan sebagai anak-anak yang “memerlukan perhatian lebih” karena kekurangan perhatian orang tua di rumah. Rasa kepemilikan mereka sangat tinggi karena mereka tidak ingin kehilangan sesuatu yang mereka bisa miliki seperti kehadiran kami. Tak ayal, mereka sering berebutan untuk memegang tangan atau mendapatkan perhatian dari kami. Dengan kesempatan yang ada, saya merasa nyaman di desa ini. Ine (ibu) dan ama (ayah) ataupun masyarakat selalu menyambut kami dengan ramah, menawarkan kami kopi, teh nira dan berbagai hasil kebun mereka semisal termasuk stroberi, buah yang langka sekali saya konsumsi. Jika ada mungereje (pesta nikah) dan rewang (melayat), kami selalu diundang dan diperlakukan layaknya masyarakat Bah lain. Saya tidak merasa kesepian ataupun dikucilkan karena karakter masyarakat yang selalu terbuka dengan kedatangan kami.