Mulai dari Catatan tentang Nilam hingga Sebuah Pesan dari Alur Keujruen

Ditulis oleh: Rizka Malda

Desa Serempah (Foto: Walida)

Sebulan sudah saya ditempatkan di Desa Alur Keujruen ini, desa paling hulu dari aliran Sungai Kluet di Aceh Selatan. Ini adalah kedua kalinya saya datang di tempat ini. Penempatan kali ini membuat saya lebih mengetahui kondisi masyarakat setempat dibanding penempatan sebelumnya.

Sumber ekonomi utama warga desa setempat adalah adalah agrikultur. Di pagi hari, masyarakat sudah berkumpul di dermaga menunggu stempel (sebutan untuk sampan di tempat ini) untuk diantarkan ke kebunnya. Ada juga masyarakat yang langsung ke kebunnya karena jarak kebun yang dekat dengan desa. Mereka menanam cabe, kacang, jagung, jahe dan jenis tumbuhan lainnya. Namun yang menyentuh rasa penasaran saya adalah tanaman nilam.

Petani di Alur Keujruen menanam nilam yang selanjutnya diolah menjadi minyak mahal yang berharga Rp 700.000 per kilogram. Berdasarkan wawancara singkat dengan penduduk lokal, nilam ditanam melalui batangnya. Makin singkat waktu (biasanya 2-3 hari) yang dibutuhkan untuk membersihkan rumput, makin bagus kualitas nilamnya. Setelah daun nilam tumbuh, daun tersebut akan dipanen dan dijemur dibawah terik matahari sampai berwarna hitam. Setelah berwarna hitam, nilam akan dibawa ke keter (tempat penyulingan minyak nilam). Penduduk menyuling nilam secara mandiri, tapi ada juga yang mengupah orang lain untuk menyuling milik mereka. Jika terdapat 20 karung besar, penyulingan bisa memakan waktu sampai satu minggu. Karena mungkin merasa bosan menunggu penyulingan, masyarakat sering menghibur diri mereka dengan berkaraoke.

Selain berkebun, ekonomi masyarakat juga berasal dari penjualan ikan. Ikan biasanya dijaring menggunakan jala jenis Lunta. Jala ini memiliki besi-besi kecil di bawahnya. Saat dilempar ke sungai, besi-besi tersebut akan menyatu membentuk lingkaran layaknya jaring ikan biasa, nelayan akan menarik tidak lama setelah melempar. Artinya, mereka akan melempar beberapa kali sampai ikan yang didapat dianggap banyak. Jenis ikan yang didapat sangat beragam. Namun, ikan yang menjadi ikon Desa Alur Keujruen adalah ikan kerling.

Ada cerita menarik dari salah satu nelayan yang mengatakan kalau dia pernah dapat ular besar saat menjala di malam hari. Ular piton itu masuk ke stempel yang harus mereka keluarkan dengan susah payah. “Ular itu ada sebesar palang kayu itu,” kata nelayan itu sambil menunjuk palang tersebut.

Nelayan saat sedang membuat perahu (Foto: Walida)

Masyarakat desa ini juga sering berburu. Biasanya, hasil buruan akan dibawa pulang untuk dimakan atau dijual di pasar. Setelah berbicara sedikit dengan pawang berburu, rupanya berburu juga memiliki hukum-hukum, tata cara tertentu, dan syarat-syaratnya. Hukum-hukum ini menggunakan Al-Qur’an dan Hadist sebagai sumber utama. “Berserah dirilah pada Allah saat berburu, itu adalah yang paling penting, kalau tidak tawakal, maka jangan harap kamu bisa dapat buruanmu,” kata pawang tersebut. Jenis buruan mereka juga ditetapkan dari level yang tersusah sampai yang termudah. Level satu adalah badak (sebelum badak menjadi hewan yang dilindungi), level kedua adalah kijang, level ketiga adalah rusa, level keempat adalah kancil, dan level terendah adalah landak. Hasil buruan biasanya dibagi sama rata pada anggota berburu termasuk yang tidak ikut berburu di hari itu. Hasil buruan itu juga dibagikan pada anjing-anjing yang sudah ikut membantu berburu. Para anjing biasanya akan membantu dengan melacak rusa dan mengejar rusa sampai kelelahan. Saat lelah, rusa baru disembelih oleh pemburu.

Selain keunikan cara hidup, bahasa disini juga sangat unik. Masyarakatnya merupakan multilingual (pengguna banyak bahasa). Mereka sering beralih dari Bahasa Kluet ke Bahasa Jame, kemudian ke Bahasa Aceh. Ketiga bahasa daerah ini menjadi bahasa yang digunakan sehari-hari. Jadi, saya yang merupakan pengguna Bahasa Aceh bisa menjadi lebih dekat dengan mereka karena pengaruh bahasa daerah tadi.

Masyarakat di sini sangat komunal. Jadi, sebagai pendatang, saya tidak merasa terkucilkan sama sekali karena saya sudah menemukan “induk semang.” Istilah ini saya dapatkan dari “ayah”, salah satu tokoh masyarakat yang memberikan kami nasihat mengenai tata cara merantau yang baik. Ayah memulai nasihatnya dengan peribahasa “hiu bali, balawak bali, jangan lupa cai ikan panjang, umak cai ayah cai, jangan lupa cai induk semang. Inti utama dari peribahasa ini adalah jika kita sedang dalam perantauan, jangan lupa membangun jaringan yang bagus dengan masyarakat setempat agar kita terselematkan dari marabahaya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *