Muhasabah Diri dari 16 Tahun Bencana Gempa dan Tsunami Aceh

Oleh Nanda Rahmad

wisata bot atas rumah (Foto: Ario)

Tragedi Tsunami yang meluluhlantakkan Aceh pada tahun 2004 silam menyimpan luka yang mendalam bagi sebagian besar masyarakat. Meski telah berlalu selama lima belas tahun, bencana yang disebut sebagai salah satu bencana alam terdahsyat sepanjang sejarah ini masih meninggalkan kesedihan tak terkecuali bagi ibu Bindiyah binta Sahan atau yang biasa disapa Wak Kolak, salah satu warga desa Lampulo yang selamat dari bencana dahsyat tersebut. Saat disambangi oleh Tim Redaksi buletin Rumah Relawan Remaja (3R) di kawasan objek wisata kapal di atas atap rumah desa Lampulo, perempuan yang kini telah berusia 75 tahun itu tak segan membagi kisah pilu yang hampir renggut nyawanya tersebut.

Ia mengisahkan, saat terjadinya gempa, ia sedang berada di pelabuhan Lampulo tepatnya di tempat Wak Kolak berjualan sehari-hari. Gempa yang begitu besar dan durasi yang cukup lama itu membuatnya berpikir bahwa kiamat sedang terjadi dan bumi serasa akan hancur. Setelah gempa yang disebutnya terjadi sekitar 8 menit itu berhenti, ia pun berjalan pulang. Tak lama kemudian, ia mendengar suara ledakan sebanyak dua kali dari arah laut dan mendengar alam seperti senyap tak bersuara. Kemudian, ia kembali ke area pelabuhan berniat mengambil dagangannya. Saat ia di pelabuhan, Wak Kolak melihat air laut surut. Berselang beberapa menit, ia melihat ada dua gulungan ombak yang sangat besar dari arah laut dan berwarna hitam seperti lumpur perlahan menuju kearahnya. Di saat itu ia mendengar orang-orang berhamburan lari sambil berteriak “air laut naik! Air laut naik!”

Wak kolak saat diskusi dengan Nanda, tim narasi 3R (Foto: Ario)

Wak Kolak sendiri hanya bisa mematung. Ia tak sempat berpikir apapun melainkan merasakan ajalnya sudah dekat. Saat mengenang kejadian itu, ia merasa gambaran kiamat yang diceritakan dalam Al-Qur’an sedang terjadi. Semua orang tak sempat berpikir siapapun lagi. Termasuk Wak Kolak sendiri. Ia tak lagi memikirkan keluarganya atau siapapun yang ada disekitar. Ia hanya mengingat Allah dalam hatinya dan merasa kematian yang begitu dekat dengannya. Ia tidak sanggup lari dan tidak bisa berenang, Ia pun pasrah. Diletakkannya tangan di dada sambil mengagungkan kalimah syahadat seolah bersiap menjemput maut. Tetiba, ia merasa seperti ada orang yang memintanya lari, namun suara itu tak berwujud. Bahkan suara itu seakan menuntunnya untuk berlari sampai ke sebuah rumah dua lantai milik seorang guru bernama Ibu Abasiyah. Ia bersama dengan beberapa orang termasuk pemilik rumah yang turut naik ke lantai 2 di rumah tersebut pun selamat hingga akhirnya mereka dikejutkan dengan suara hantaman keras yang ternyata kapal nelayan yang menabrak rumahnya. Kapal tersebutlah yang hingga saat ini dikenal dengan objek wisata kapal di atas atap. Karena berpikir itu adalah kapal yang akan menolong mereka, akhirnya mereka yang berjumlah 59 orang naik keatas kapal tersebut hingga mendapati tidak ada satu orang pun ada di kapal tersebut. Di atas kapal ini pula, mereka selamat hingga air surut dan datang bantuan.

Cerita lain diceritakan pula oleh Ibu Nilawati atau yang akrab dipanggil Mak Nong. Perempuan paruh baya tersebut mengalami kisah yang berbeda. Jika Wak Kolak berhasil selamat di dalam kapal, maka Mak Nong ini selamat di atas pohon kelapa bersama anak-anaknya. Saat diketahui air laut naik, ia yang saat itu bersama dengan ibu dan anak-anaknya menumpangi sebuah mobil pick up dengan harapan bisa menyelamatkan diri dari gulungan air. Mobil yang ditumpanginya dihantam air sehingga membuatnya dan semua penumpang tergulung-gulung dalam air. Di situlah ia terpisah dengan ibu dan anak-anaknya. Ia sendiri terbawa air hingga tersangkut di sebuah pohon kelapa. Tak lama kemudian, anak-anaknya juga terseret ke puncak pohon kelapa tersebut hingga ia bertemu kembali dengan anak-anaknya. Ia beserta anak-anaknya mampu bertahan sampai air surut hingga ia bertemu lagi dengan suaminya. Namun ia bersedih sebab tak dapat menjumpai ibunya. Hingga saat ini, jasad ibunya pun tidak ditemukan. Diakhir percakapan dengan beliau, ia berpesan kepada tim redaksi agar mematuhi dan menyayangi orang tua selagi masih ada sebab kasih sayang orang tua tak dapat dibalas dengan apapun.

Secara keseluruhan jumlah korban meninggal/hilang yang terdata adalah berjumlah 982 orang dari semua korban meninggal/hilang di desa Lampulo yang berjumlah kurang lebih 4500 orang. Setelah kejadian menakutkan itu berlalu selama 16 tahun, seiring berjalannya waktu desa Lampulo berhasil menyembuhkan lukanya dan berbenah diri menjadi desa yang lebih baik dari sebelumnya baik dari segi perekonomian masyarakat maupun pola pikir mereka. Meski luka setelah tsunami tak 100% bisa terhapus dari memori ingatan mereka, tetapi banyak hikmah juga yang dirasakan pasca tsunami. Diantara yang disebutkan Wak Kolak adalah berlakunya syariat Islam, terciptanya perdamaian antara RI-GAM yang berdampak kepada hidup damai masyarakat Aceh dan pembangunan Kota Banda Aceh

Kisah Wak Kolak dan Mak Nong semoga menjadi refleksi bencana tsunami 16 tahun silam. Bencana yang terjadi sejatinya dipahami sebagai pengingat untuk terus meningkatkan rasa syukur kepada Sang Pencipta dan menjadikan musibah sebagai muhasabah untuk lebih meningkatkan ibadah, iman dan taqwa kepada Allah SWT. Refleksi kejadian tsunami ini tentu juga menjadi bagian penting untuk tidak melupakan sejarah negeri ini, apalagi bagi para generasi kini yang mulai tak peduli.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *