Misi Perdamaian dari Perahu Layar

Saya melakukan perjalanan ke tanah Sulawesi untuk pertama kalinya bersama rekan-rekan Rumah Relawan Remaja (3R) dan The Frontiers untuk melaksanakan Kemah Damai (Peace Camp) di Luaor, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat. Perjalanan saya dimulai dari tanggal 17 Agustus 2024 seorang diri. Saat itu, saya menyusul tim yang telah lebih dahulu berada di Sulawesi. Hingga kami yang menjadi partisipan sekaligus relawan sebanyak 8 orang berkumpul, termasuk tim dari The Frontiers, yaitu Sahaja Onnie, Brother Song dan Cha Cha.

Sulawesi bagi saya adalah tempat untuk menempa ilmu terutama berkenaan dengan kecerdasan manusia di masa lalu, pelayaran dan sejarah yang membawa banyak sumber pengetahuan. Saya pernah mendengar tentang sebuah kapal yang sangat terkenal, yaitu Pinisi. Namun, sebelum tiba di Luaor, saya sudah mendengar jenis perahu bernama Sandeq. Sandeq ini pun menjadi salah satu media belajar kami selama Peace Camp tahun ini.

Sandeq yang saya lihat berukuran kecil dan hanya bisa ditumpangi oleh beberapa orang.  Itu pun sebagai pengendali tali layar. Yang saya lihat saat itu adalah sandeq yang digunakan untuk momentum Sandeq Race, kegiatan rutin yang kini menjadi salah satu pintu penting mempertahankan budaya di Sulawesi Barat melalui kapal tradisional.

Sandeq tidak berhenti membuat saya takjub. Saya seolah melihat orang-orang di masa lampau bertahan dan berinovasi. Saya juga mendengar cerita dari seorang warga setempat yang menjelaskan bahwa sebelum adanya mesin seperti saat ini, orang-orang sangat menguasai kondisi lautan. Selain itu, perahu tanpa mesin tersebut membutuhkan kerjasama yang tinggi untuk dapat berlayar bebas. Sayangnya, teknologi kini mengambil alih peran bersama tersebut.

Meskipun begitu, kebahagiaan lain datang karena diberi kesempatan menyaksikan kehikmatan makan bersama warga di dekat perahu Sandeq yang baru selesai dibuat. Ini merupakan salah satu tradisi setempat. Saya dan teman-teman makan nasi santan dan lauk yang tentunya merupakan hasil laut.

Saat makan bersama itu, saya juga melihat banyak perahu bercadik berdiri, mulai dari yang kecil hingga sedikit lebih besar. Seorang pemuda yang saya temui mengatakan bahwa dia bisa mencari ikan sampai ke Kalimantan selama berhari-hari. Biasanya, ikan hasil tangkapannya akan langsung dijual ke Balikpapan. Suku Mandar juga terkenal sebagai pelaut yang berlayar hingga ke luar negeri.

Agenda penuh pembelajaran lainnya adalah saat saya bertemu dengan seorang budayawan lokal bernama Ridwan. Di museum miliknya di daerah Pamboang, kami mengadakan diskusi mengenai perahu Sandeq. Dia memaparkan pernyataan dari Horst Liebner (seorang antropolog asal Jerman yang berperan penting dalam menginisiasi Sandeq Race) bahwa Sandeq merupakan puncak dari evolusi perkembangan perahu nenek moyang suku Mandar. Pernyataan Ridwan ini dibuktikan oleh gambar yang diperlihatkannya berupa bentuk dari perahu nenek moyang, dimulai dari perahu datar hingga ke perahu yang memiliki cadik seperti sekarang.

Momen penting lainnya yang membuat saya terkesima adalah saat uji coba Sandeq yang dibuat di Luaor dan kita namai Sahabat Laut. Saya melihat orang-orang yang begitu lihai mengenali arah angin membawa mereka bersama kapal di tengah laut. Kekuatan tarikan dari otot-otot tangan para lelaki dewasa serta kekuatan kaki untuk menopang badan bila saja angin sangat kencang atau tampat tanjakan yang licin. Saya terus membayangkan bagaimana perahu kecil ini bisa sampai ke manca negara hingga mereka dikenali sebagai seorang pelaut andal. Saya sungguh merasa mempelajari masa lalu dari nenek moyang telah memberi gambaran besar terhadap sudut pandang saya, terutama menjalin hubungan dengan orang asing merupakan sumber kedamaian. Saat melakukan pelayaran atau perjalana memiliki efek untuk memahami dan mempelajari budaya lain. Barangkali hari ini, dengan kecanggihan teknologi kita enggan untuk mempelajari budaya lain, hingga kita merasa super dari yang lainnya. Kita sering melakukan perjalanan karena kita punya banyak uang di kantong, tapi apakah kita memanfaatkan kesempatan itu untuk memahani orang lain dari sudut pandang mereka?

Agenda Lain Selama Peace Camp

Selain agenda berkaitan dengan Sandeq, kita juga melaksanakan Peace School. Rangkaian Peace School ini pun ada beberapa, misalnya membaca nyaring, menggambar dan mewarnai bersama, diskusi pemuda serta memungut semua yang berserakan di sekitar Rumah Sandeq kita yang sekarang kita namai area Komunitas Sahabat Laut. Hampir setiap hari selama Peace Camp, kita memungut limbah organik dan non-organik yang bertumpuk di pinggir pantai. Kami juga menemukan banyak pecahan kaca dan popok sekali pakai. Setelah beberapa hari membersihkan, yang juga dibantu oleh masyarakat setempat, kini area kita menjadi bersih dan dibuat menjadi lapangan voli.

Diskusi bersama pemuda juga menjadi agenda yang menyenangkan. Diskusi berlangsung dari berbagai arah, meski sebagian ada yang terkesan malu berkomentar, namun kita bisa melihat harapan baik dari para pemuda setempat untuk menjaga desa Luaor . Momen ini juga menjadi pengingat bahwa kebersamaan kita dengan para pemuda di sini tidaklah singkat. Mereka dulu adalah anak-anak yang dulu mengikuti kelas-kelas yang diadakan oleh para relawan 3R sejak tahun 2014. Kini, mereka telah tumbuh dewasa dan menjadi teman diskusi hingga kita menginisiasi dimulainya Komunitas Sahabat Laut.

Berteman dengan Vegetarian

Pengalaman personal yang saya rasakan selama Peace Camp ini berlangsung adalah bersama Cha Cha yang memilih menjadi vegetarian. Di Indonesia, praktik untuk tidak makan daging juga bukan hal baru terutama bagi mereka yang menentang keras perlakukan kejam terhadap hewan untuk dikonsumsi. Namun, meski bukan seorang vegetarian, bila sedang bersama biasanya kita akan memilih makanan yang memiliki kandungan nabati seperti tempe atau tahu. Karena keberadaan sayuran seperti kangkung, sawi atau bayam sulit diperoleh kecuali ke pasar.

Saya juga akhirnya mencari beberapa informasi terkait pilihan pemuda Korea Selatan menjadi seorang vegan. Berdasarkan riset yang diterbitkan di Korean Journal, saya menemukan bahawa fenomena ini mulai terjadi sejak awal tahun 2000-an.

Selama di Sulawesi yang berpindah-pindah tempat kami kesulitan menemukan rumah makan yang menyediakan beragam jenis sayuran, kebanyakan adalah ikan, daging sapi atau daging ayam. Sementara sayuran hanya dijadikan sebagai pelengkap bukan menu utama dalam hidangan. Sementara ketika di desa, tuan rumah juga tidak terbiasa makan sayur berbarengan dengan ikan. Saat berada di Langkai misalnya, karena tidak ada sayur jadi lauknya adalah mie instan.

Kehidupan seorang vegan barangkali tertantang ketika melakukan perjalanan jauh ke luar negeri. Situasinya sangat berbeda saat berada di negara sendiri, perolehan sumber nabati tentu lebih mudah. Apalagi dengan kehidupan orang di pesisir yang notabene pilihan lauk paling umum adalah daging seperti ikan. Seperti saat makan bersama orang desa, hanya ada cumi goreng dan ikan asin. Cha Cha yang seorang vegan terpaksa hanya makan nasi lemak saja. Sementara saat jalan-jalan ke tempat wisata, kita harus memilih rumah makan yang memiliki banyak pilihan sayurannya.

Perayaan Kecil di Pinggir Kali

Setelah beberapa rangkaian kegiatan dilaksanakan di Luaor, kami bergerak ke Makassar, tepatnya menuju Pulau Langkai yang merupakan pulau terluar kedua di Kota Makassar.  Saat melihat pulau ini di peta, banyak pulau yang kami lewati. Sayangnya, saat menuju pulau ini, saya tidak melihat satu pun pulau karena lebih memilih tidur setelah seharian menunggu kapal untuk berangkat.

Sekitar jam delapan pagi (24/8) kami bergerak ke lokasi menunggu kapal nelayan, tapi informasi yang didapat belum pasti karena keberadaan kapal bisa tidak menentu.Hari itu, dari pagi hingga malam kami terus menunggu di pinggi kali. Duduk seharian di pinggir sungai dan harus menghirup aroma tidak sedap khas area pembuangan limbah. Aroma dan warna air di sungai membuat saya mempertanyakan mengapa orang-orang tetap bertahan tinggal di area kumuh seperti ini? Namun sepanjang penantian itu perhatian saya tertuju pada orang-orang yang sibuk mencari uang di pinggir kali. Mulai dari kios-kios penjual nasi dan orang-orang menikmati setiap santapan yang masuk ke dalam mulutnya, begitu pun ibu-ibu yang duduk sambil bercerita. Dari seberang di sore hari itu, orang-orang mulai berkumpul lalu menghidupkan musik yang seingat saya dengan genre dangdut, lagunya untuk ucapan selamat ulang tahun. Mereka bergoyang bersama sambil menikmati alunan musik gembira. Tampak seorang anak memakai bando mencolok. Barangkali dialah yang sedang berulang tahun dan menunjukkan kebahagiaan.

Ditulis oleh Kasumah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *