Terkesiap aku saat diutus untuk mengajar disana, desas desus yang ku dengar bagaimana Lapeng itu?, dimana Lapeng itu? dan dengan semua hal yang memenuhi sanubariku. Tak ayal pikiran jelek pengaruhiku, memerintahku untuk mundur. Namun, aku bukanlah hanya setumpuk organ yang Tuhan ciptakan untuk tunduk pada hasil penerkaan. Aku Arif Munandar S.Si , seorang sarjana muda dari Jurusan Biologi Unsyiah. Bukan karena tidak memiliki tujuan setelah melewati Graduasi Sarjana, namun keinginan menyetarakan pendidikan di daerah tertinggal dan harapan memperoleh pengalaman serta membagi pengalaman menjadi alasan kuatku saat aku ditanya mengenai tujuan menjalani program ini. Teruntuk Ibuku, maafkan anakmu ini yang sampai sekarang masih terus memberimu janji – janji manis padamu, janji untuk membahagiakanmu dengan hasil keringatku sendiri.
Hari pelatihan untuk menjadi pengajar dimulai, bermarkaskan di Rumah Relawan Remaja (3R) di Desa Lam Lumpu, Kecamatan Pekan Bada. Aku dan lima calon pengajar lainnya diberikan pelatihan bagaiaman menerapkan sistem pendidikan eduakatif nan kreatif di daerah tertinggal. Pelatihan selama 1 minggu diharapkan dapat memberikan pencerahan bagi para calon pengajar. Akhirnya, aku disini, di Desa Lapeng. Desa yang masih misteri bagiku, rumor-rumor negative mengenainya kembali datang dan kian membentang di lubuk sanuariku. Imajinasiku terus memberikan pengaruh mengenai sangka burukku terhadap desa ini.
Semua mulai berawal dari hari keberangkatanku ke tujuanku, Desa Lapeng. Secara Geografis, Desa lapeng terletak pada gugusan Pulo Breueh, Kecamatan Pulo Aceh, Aceh Besar, Aceh. Desa yang dihuni sekitar 30 Kepala keluarga ini, memiliki anugerah alam yang melimpah baik disektor perikanan maupun perkebunan, mayoritas penduduk lapeng memiliki mata pencaharian sebagai nelayan sekaligus penggarap kebun. Oleh karena itu, tak ayal banyak dijumpai ladang sayuran di sepanjang jalan utama Desa ini. Namun, segala anugerah ini tidak dapat di optimalkan dikarenakan akses jalan yang masih belum mendukung, hingga saat ini Desa Lapeng masih mengandalkan jalan setapak untuk menganggkut hasil laut dan kebun ke Desa terdekat. Alhasil semua barang yang dikirim menggunakan jalan tersebut menjadi busuk dan tidak bisa terpakai lagi. Apabila mengandalkan jalur laut, Desa lapeng tidak memiliki sarana transportasi laut yang rutin beroperasi, sehingga hanya bisa menunggu kemungkinan kapan pawang (pemiliki perahu) pergi ke Desa sebelah, Lampuyang. Desa ini merupakan Kota Kecamatan sekaligus pusat modernisasi masyarakat Pulo Aceh, Desa Lampuyang merupakan sentra pengepulan hasil laut maupun darat yang kemudian akan dikirimkan ke Banda Aceh, oleh sebab itu Desa Lampuyang memiliki “armada” transportasi laut maupun darat yang memadai. Selain sebagai pusat kecamatan, Lampuyang juga menjadi pusat pendidikan terpadu di Pulo Aceh.
Desa Lapeng sendiri memiliki Sekolah Dasar Negeri (SDN), SDN Lapeng namanya. Pada awal berdirinya. SDN lapeng merupakan Sekolah Jarak Jauh (SJJ) yang bernaung di bawah SDN Lampuyang. Hingga pada akhirnya dengan usaha para guru, Sekolah Dasar Lapeng resmi menjadi SDN Lapeng. SDN Lapeng memiliki 26 orang murid yang tersebar dari kelas satu hingga kelas 6, mereka adalah anak- anak asli Desa Lapeng. Guru yang mengajar hanya sekitar 4 s/d 5 orang, yang setiap 2 minggu sekali bergantian mengajar. Hal ini dikarenakan akses jalan yang masih belum memadai, sehingga mustahil bagi para guru untuk bisa datang setiap hari dan mengajar, memang terdapat beberapa penginapan bagi guru, bahkan bisa disebut rumah. Namun, butuh tekad dan motivasi yang kuat untuk dapat tinggal dan menyesuaikan diri dengan keadaan Desa lapeng yang tertinggal.
Peranku sebagai guru di mulai hari ini, bersama dua rekan ku Taufiq dan Nuna Sahaja. Taufiq yang bernama lengkap Teuku Taufiqurrahman merupakan alumni Teknik Arsitektur Unsyiah. Sedangkan rekanku yang satunya merupakan seorang WNA asal Korea Selatan, nama aslinya adalah Yoo Bokhee, dan nama Indonesia adalah Sahaja. Sahaja atau Nuna (panggilan kakak perempuan oleh laki-laki) adalah seorang relawan yang sudah tinggal di Indonesia selama 10 tahun. Bersama meraka aku akan menghabiskan 3 minggu mengajar anak- anak Lapeng dengan mengantongi bekal niat dan kurikulum, kurikulum yang sudah disiapkan akan ditujukan pada tiga kelompok kelas belajar yaitu kelas membaca terbata-bata, membaca dan menulis.
Espektasiku terlalu tinggi membayangi niat belajar anak-anak Desa Lapeng. Pada minggu pertama proses pembelajaran, jumlah kehadiran tertinggi adalah 18 siswa, jumlah yang fantastis yang membuat kami semakin optimis untuk mengajar. Namun, memasuki minggu kedua, jumlah yang sedemikian tidak dapat dijumpai lagi, tak ayal bahkan ada hari-hari tanpa kedatangan siswa, guru pun hanya menunggu kedatangan siswa hingga tertidur. Ketidakhadiran siswa bukan karena tingkat kemauan mereka yang menurun, akan tetapi libur sekolah yang bersamaan dengan musim panen cabai. Sehingga ini merupakan kesempatan yang baik bagi para orang tua untuk memboyong anak-anak ke kebun untuk memanen. Hal ini tidak serta merta menjadi kesalahan orang tua, terkadang terdapat beberapa orang anak yang tidak tega terhadap orang tua mereka, sehingga dengan berat hati mereka membantu orang tua bekerja.
Tiga minggu telah berlalu, hari-hari mengajar telah berakhir, kini aku dan kedua rekanku sedang mempersiapkan kepulangan. Terdapat banyak kendala bagi kami untuk menyusun rencana pulang, hal ini mengingat kendaraan yang kami tumpangin tidak setiap hari beroprasi, sehingga kami harus mencocokkan jadwal jauh-jauh hari. Hari sabtu pada minggu terakhir, merupakan hari yang di jadwalkan oleh pawang perahu, pada hari itu pula acara perpisahan sekaligus penutupan ekstra kelas, sehingga mau tak mau aku dan Taufiq harus membatalkan kepulangan pada hari itu. Namun, berbeda dengan Nuna Sahaja, beliau harus pulang pada hari itu, mengingat ada kebutuhan mendesak yang lain, dan tinggallah aku dan Taufiq untuk mempersiapkan acara perpisahan dan penutupan. Sore harinya aku dan Taufiq menumpang sebuah perahu menuju sebauh desa, Desa Rinon. Kepulangan kami ke Banda Aceh dimulai dari Desa ini.
Penulis : Guru Relawan Pustaka Kampung Impian , Arif Munandar. Seorang sarjana dari FMIPA Biologi Unsyiah. Lahir pada 12 Februari 1994. Seorang yang tidak punya kecintaan dalam membaca dan menulis, jadi tak bisa berharap lebih pada hal itu. Seorang pottermore addict yang sangat sangat addict, Motto hidupnya “ Asalkan ada niat “