Lapeng Village, I Am Coming

Ini adalah kisah perjalanan pertamaku ke Desa Lapeng, Pulau Aceh

Awan gelap berlahan mundur silih digantikan oleh raja surya yang sedikit redup. Jarum jam bertahta tepat diangka 12.00 WIB. Satu hal yang terpikir olehku adalah waktu untuk berangkat menuju ke Desa Lapeng. Relawan yang mendapat tugas kesana mulai sibuk mengeluarkan segala perlengkapan tim ataupun barang pribadi. Bertransportasikan mobil pick up, tim kami menuju ke Pelabuhan Lam Pulo. Suara teriakan orang dewasa, deru mesin kapal dan berbagai kesibukan di sana terlihat begitu menyesakkan. Kapal kecil yang dipadati penumpang juga dipenuhi barang-barang penumpang yang akan diangkut tampak sangat berantakan. Penumpang dewasa sibuk mengawasi anak-anak agar tidak terjatuh dan sebagian lagi sibuk menyusun barang bawaan agar tidak basah. Para awak kapal sibuk dengan tugas mereka dan ibu-ibu sibuk mencari tempat duduk yang nyaman agar terlindung dari sengatan matahari. Pada akhirnya kapal yang kami tumpangi siap berlayar pada siang yang terik itu.

Suasana didalam kapal awalnya sangat hening. Beberapa terlihat berdoa atau hanya sekedar memejamkan mata. Kapal yang terus melaju dengan suara mesin terdengar memekakkan telinga. Ku rasa mesin itu ingin menyampaikan betapa susah ia melawan ganasnya ombak untuk sekedar membawa kami menyebrang ke pulau sana. Kapal mulai terombang ambing ketika ombak besar mulai berdatangan. Daratan semakin jauh tertinggal dibelakang dan kapal terus berlayar. Lautan membentang luas tanpa penghadang, melihat daratan baru setidaknya harapan kecil itu yang terus  aku lafalkan. Hampir satu jam berlayar, penumpang mulai terlihat lebih tenang dan bahkan ada yang tertidur pulas. Semuanya terasa lebih baik ketika pulau baru mulai terlihat. Kapal kecil itu mendekati Pelabuhan, aku ingat Pelabuhan Lam Puyang namanya. Sedikit susah untuk mengingat namanya karena papan selamat datang sudah hilang beberapa hurufnya. Pelabuhan kecil namun terlihat sangat sibuk dan ramai.

Setiap penumpang dari pelabuhan Lam Pulo ke Pelabuhan Lam Puyang dikenai ongkos Rp. 30.000 dikarenakan harga bahan bakar yang sudah tak lagi ramah kepada rakyat. Perjalanan kami kembali berlanjut dengan menggunakan mobil pick up. Sepanjang perjalanan, kami disunguhi pemandangan yang begitu indah. Bukit-bukit rindang berhadapan langsung dengan samudra hindia. Sekilas aku merasa seperti melihat lukisan yang indahnya tanpa cela. Disepanjang jalan, kami membicarakan banyak hal. Entah itu tentang harga bahan bakar yang meningkat drastis, kondisi perekonomian masyarakat yang memprihatinkan, lahan yang terbengkalai dan masih banyak lagi. Satu hal yang menarik perhatianku ketika melintasi jalan menuju ke Lapeng. Luasnya tanah namun hanya ditumbuhi ilalang dan tumbuhan rambat lainnya. Lahan yang tidak terurus dan dibiarkan begitu saja. Pemandangan ini sangat kontras dengan pemandangan di kota-kota. Sejak kecil aku sering melihat perkarangan sempit yang dipaksa untuk dijadikan taman ataupun kebun mini. Beragam sayur dan bumbu diusahakan untuk tumbuh walaupun hanya memiliki beberapa meter perkarangan saja. Bahkan banyak ditanami didalam pot agar bisa tersusun rapi dan bisa ditanami lebih banyak. Akan tetapi, lihatlah disini. Dipulau aceh ini, masyarakat memiliki lahan yang luas, alam menyediakan mereka tanah yang subur dan air yang berlimpah. Tanaman dapat tumbuh dengan mudah tapi disepanjang perjalanan itu aku tidak melihat adanya kebun yang ditanami dengan tumbuhan-tumbuhan yang dapat dipanen dalam waktu dekat. Kebun beragam sayuran seperti bayam, sawi, terong dan lainnya tak ada satupun yang tertangkap oleh penglihatanku. Akan tetapi tanaman rambat liar, semak belukar diantara pohon-pohon kelapa sangat mendominasi lahan-lahan warga.

Mobil yang kami tumpangi terus melaju. Tanjakan tajam terlewati tanpa hambatan walaupun asap hitam menggepul dibelakang. Desa Lapeng, desa tujuan kami sudah semakin dekat. Rumah pertama yang kami jumpai tanpa tetangga menjadi penanda pintu masuk ke desa. Gerimis mulai menyapa, menyambut kedatangan kami sore itu. Awalnya hanyalah gerimis kecil namun berlahan menjadi hujan lebat. Barang bawaan sudah kami tutupi dengan tikar biru dan kami tetap berusaha menikmati pemandangan sekitar. Di saat mobil kami melintas, banyak anak yang terlihat menyapa dan berteriak memanggil. Raut bahagia terpancar jelas diwajah mereka. Sekelompok ibu juga tersenyum lebar ketika melihat kedatangan rombongan kami. Akhirnya kami melewati pustaka impian yang letaknya bersebelahan dengan Sekolah Dasar Negeri Lapeng. Sebuah balai kecil dan halaman yang ditumbuhi banyak rumput, terlihat tidak terpakai dalam waktu lama. Pustaka impian kami yang terlihat sangat sederhana. Hanya satu tingkungan lagi kami sampai di kebun impian. Bunga matahari dengan warna kuning khasnya menyambut kami. Kala itu hujan semakin deras membuat kami terburu-buru menurunkan barang dan mencari perlindungan. Bang Ogut dan Pak Sekdes sudah menunggu kami dibawah rumah kayu yang masih setengah jadi. Kebun impian terlihat begitu indah. Tomat yang mulai masak, terong dengan warna ungunya, tanaman gambas yang merambat, tanaman jagung yang masih kecil dan bunga-bunga kuning, orange dan juga bewarna merah melengkapi keindahan kebun itu.

Kurasa sekitar sepuluh menit bernaung dari derasnya hujan, seorang anak laki-laki datang menghampiri kami. Dia berbicara bahasa daerah yang sulit kupahami artinya. Menunggu sedikit lebih lama, kuberanikan diri untuk bertanya siapa namanya.

“Nama saya Aidil” Jawabnya pelan dan terkesan malu-malu. Lalu kukenalkan juga namaku lalu dia terlihat tersenyum. Entah karena namaku yang terdengar lucu atau memang dia ingin menunjukkan keramahtamahan, aku pun juga tidak mengerti. Akan kuingat nama anak laki-laki kecil itu sebagai kenalan singkat pertamaku ketika tiba di Desa Lapeng. Kulihat kesekeliling kebun impian, sungai kecil yang meliuk dibelakang sana terlihat sangat indah. Tapi ada dua bangunan yang sangat menarik perhatianku yaitu bangunan kecil bewarna cokelat yang akhirnya aku tahu itu adalah sebuah toilet. Bentuknya yang menyerupai rumah orang eskimo dengan warna yang sangat ramah mata terlihat sangat menakjubkan karena terletak di sebuah desa terpencil, Desa Lapeng.

Bagiku, perjalanan menuju desa lapeng merupakan perjalanan yang sangat luar biasa dan juga berat karena ada beban tanggung jawab yang harus dipikul. Ku harap, Lapeng tetap menjadi desa Aidil dan teman-temannya dan akan menjadi awal ceritaku bersama tim 3R untuk menjalankan visi misi kami.

Ditulis oleh Nani Zahra (Relawan Pustaka Kampung Impian 2022-2023)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *