Sebelum 2016, program membawa buku-buku ke daerah-daerah terdampak bencana atau lokasi kegiatan lainnya sudah dilaksanakan oleh Rumah Relawan Remaja (3R) dengan nama program Pustaka Damai. Baru pada 2016, inisiasi Pustaka Kampung Impian mulai diimplementasikan sebagai pengembangan program Pustaka Damai untuk menghadirkan pustaka kecil yang tidak hanya berisi buku-buku bacaan, tetapi juga menjadi pusat belajar masyarakat di desa-desa yang menjadi lokasi kegiatan. Kegiatan jangka panjang di desa-desa melalui Pustaka Kampung Impian pun dimulai.
Selama 8 tahun pelaksanaan Pustaka Kampung Impian, ada banyak dinamika. Meskipun begitu, semoga kehadirannya menjadi harapan untuk beberapa problematika sosial yang hadir. Pernyataan ini berangkat dari realitas pengalaman melihat ragam persiapan para relawan yang diberangkatkan dari sekretariat Rumah Relawan Remaja (3R) menuju desa-desa Pustaka Kampung Impian. Ragam persiapan dimulai dari orientasi program secara umum, hingga persiapan kurikulum dan material belajar bersama berbeda untuk masing-masing desa. Rangkaian orientasi ini juga diisi dengan pemahaman tentang proses berinteraksi dengan masyarakat desa, pemahaman tentang Psikologi Perkembangan Anak, metode bercerita dan membaca nyaring hingga proses mendokumentasikan perkembangan anak selama proses belajar bersama di pustaka.
Dalam memulai perjalanannya, pola belajar di Pustaka Kampung Impian menghindari arus utama proses belajar atau apa yang disebut Paulo Freire sebagai “pembelajaran terpusat pada pelajar yang dianggap sebagai bejana kosong untuk diisi ilmu pengetahuan oleh guru yang diasumsikan sebagai orang-orang berpengetahuan luas.” Oleh karena itu, proses dialog menjadi hal yang sangat penting. Saya dan juga para relawan sungguh meyakini bahwa melalui proses dialog yang menyenangkan, anak-anak maupun orang dewasa yang difasilitasi akan mudah terbuka hingga membangkitkan kemampuan berpikir kritis mereka. Proses dialog ini tidak hanya melalui konten-konten kelas terstruktur dan tidak terstruktur, tetapi juga pemilihan tempat belajar. Sehingga, terkadang kita temui proses belajar tidak hanya di bangunan pustaka kecil kita, tetapi di pinggir sungai, di tengah sawah, di dalam boat bahkan di atas batu. Kita pun dapati aktivitas belajar tidak terbatas dengan lembaran kertas, bahan-bahan daur ulang, bahkan dengan berbagai masakan tradisional yang dimasak bersama menggunakan kompor berbahan kayu bakar.
Pustaka Kampung Impian juga terus bergerak dan hadir untuk menumbuhkan pengetahuan dan pengalaman para relawan terhadap realitas sosial. Apalagi, masih banyak orang muda yang mengaku “relawan pendidikan” berpikir bahwa orang-orang di desa perlu mendapatkan pembelajaran dari orang-orang yang berasal dari kota. Oleh karena itu, di sesi awal perekrutan para relawan, acapkali kami sebagai relawan, kami saling mengingatkan bahwa Pustaka Kampung Impian ini adalah ruang belajar orang muda kepada masyarakat desa serta desa yang menyajikan harmonisasi. Tentunya, butuh banyak diskusi dan pemikiran yang terbuka pada berbagai pengamatan yang kelak bisa menjadi kekayaan pengetahuan.
Pada berbagai tulisan refleksi para tim Pustaka Kampung Impian, program ini terus menuju pada tujuan panjangnya untuk hadir membungkam inferioritas masyarakat desa yang hadir karena bias gagasan “modernitas” bahwa di kota konon katanya lebih baik. Melalui berbagai kelas pustaka, sering terlontar ujaran “desa kalian sangat indah, maka banggalah jadi orang sini!” Konten ini pun pernah dibuat dalam sebuah drama singkat yang diperagakan oleh para relawan. Saya juga sering berucap kepada anak-anak saat sesi kelas di pustaka bahkan ke orang-orang dewasa. “Sudah beberapa bulan air PDAM di Banda tidak mengalir, kalian di sini melimpah air dari gunung.” Begitulah gambaran tentang kayanya desa yang digaungkan untuk memperluas pandangan dan kebanggaan masyarakat akan desa.
Pada dasarnya, masih butuh banyak tulisan reflektif dan analitik untuk melihat sejauh mana dampak program Pustaka Kampung Impian yang secara konsisten dilaksanakan selama 8 tahun di beberapa lokasi. Namun, pada berbagai diskusi, evaluasi hingga komentar positif masyarakat, program Pustaka Kampung Impian ini memang bukan hanya program literasi seperti membaca dan menulis, namun juga menjadi ruang ekspresi bagi mereka yang pemalu hingga berkarya bak seniman professional melalui Festival Pustaka Kampung Impian dari tahun ke tahun, menjadi ruang kolaborasi bagi anak-anak desa yang hebat dengan orang-orang muda dari latar belakang berbeda, sarana pemantik memahami pentingnya pendidikan bahkan hingga dimulailah Beasiswa Impian untuk mendukung anak-anak dari desa untuk terus serta menjadi ruang pertemuan informal membahas berbagai realitas yang terjadi di sekitar.
Semoga, Pustaka Kampung Impian terus bergerak bersama masyarakat di desa-desa yang memberi kedamaian, yang diimpikan oleh orang-orang!
ditulis oleh Rahmiana Rahman