Bocah Temaram

Aku mematung di sini sejak jam 6 pagi tadi. Di pinggiran sebuah sungai di desa Baling Karang sambil menikmati panorama alam yang meneduhkan hati. Hawa dingin berselimutkan kabut masih terasa hingga kepersendian tulang. Air sungai yang mengalir pelan dan beriak menerjang bebatuan kecil memercikan alunan melodi yang mendamaikan jiwa. Sungguh sebuah pemandangan pagi luar biasa yang bahkan tidak dapat kunikmati ketika aku berada di Banda Aceh.

Kuteguk kopi hangat yang memang aku bawa dari rumah Abah yang menjadi hunian kami para relawan guru Pustaka Kampung Impian selama bertugas di desa ini. Sambil kunikmati kopi ini, kubiarkan mataku menjamah setiap objek yang ada di sekitar. Kulihat banyak perempuan berlalu lalang sambil menenteng ember berisikan pakaian kotor dan sebagian menenteng baskom berisikan piring dan peralatan dapur lainnya yang kotor. Di sudut sana beberapa siswa dan masyarakat sedang mengantri menaiki getek (alat transportasi yang digunakan masyarakat desa Baling Karang sebagai ganti jembatan untuk menyeberangi sungai). Di sudut lain ada seorang pria setengah baya dan anak laki-lakinya sedang memboyong seekor kerbau untuk dibawa gembala entah kemana. Aku pun hanyut dalam lamunanku yang entah menerawang kemana.

“Om!” suara seorang bocah memecahkan keheningan. Tanpa sadar seorang anak (tak perlu kusebutkan namanya) sudah berdiri dibelakangku. Saat kupandangi dirinya, tubuh mungil itu masih sama persis seperti pertama kali aku bertemu dengannya. Jemarinya yang kecil memelintir ujung baju yang ditentengnya selepas mandi. Tubuhnya yang masih dikerumuni buih-buih air membuat ia tampak basah kuyup kedinginan. Dan seperti biasa senyumnya yang cengengesan selalu tersungging dibibirnya yang kecil itu.

“Ada apa (menyebut namanya)?” Tanyaku sambil terus kupandangi dirinya secara detail.

“Minta duit napa!” Pintanya polos mengedahkan sebelah tangan seperti pengemis jalanan dengan wajah yang sedikit memelas namun masih dengan senyuman yang cengengesan yang sepertinya memang sudah menjadi ciri khasnya.

Sejenak aku terdiam. Aku teringat kepada apa yang disampaikan rekanku. Jika anak ini diberi peluang, maka ia akan melunjak dan nantinya akan terus meminta apa yang diinginkannya.

“Nggak bawa duit!” jawabku singkat. Sengaja tak kumunculkan ekspresi apapun di wajahku bermaksud agar ia segera enyah.

“Syibu aja, Om!” pintanya semakin memelas dengan gaya bahasa khas anak-anak yang belum fasih mengucapkan sesuatu.

“Sudah pulang sana! Om nggak bawa duit,” tegasku.

“Aahh, pelit kali lah om ini,” pungkasnya sambil berlalu.

Kulihat tubuh itu bergerak menjauhiku. Mungkin ia berjalan pergi dengan turut membawa serta kecewa karena hasratnya yang tak terpenuhi. Aku pun kembali mematung. Kupandangi bocah itu yang semakian menjauh dan kemudian sirna ditelan gumpalan kabut. Sebenarnya ada rasa iba dan kasihan. Ia hanya seorang anak yang kurang kasih sayang (setidaknya itu yang kutahu). Tapi aku harus tegas kepadanya agar ia tidak terus meminta kepada orang.

Apa yang seharusnya aku lukiskan tentang anak  ini? Dibilang malang, tapi ia bukan seutuhnya terlantar sebab kedua orang tuanya masih ada. Ibunya seorang petani dan ayahnya pun sama. Ia memiliki seorang abang dan adik yang juga sama dengannya, tampak “malang”.  Tak tahu apa yang salah, tapi kurasa memang ada sesuatu yang kurang dalam keluarganya. Mungkin aku bisa menyebutnya kurang “kasih sayang”. Jarang ku melihat ia berjalan bersama ayah dan ibunya. Meski demikian tak banyak yang bisa kulakukan. Bahkan apa yang ada dalam benakku ini belum tentu benar. Bisa saja ini hanyalah segelintir spekulasi yang kusugestikan pada saraf otakku yang jauh dari kebenaran adanya. Aku hanya berhipotesa atas secuil informasi yang kudapatkan, kemudian informasi itu kuolah menjadi sebentuk dugaan yang tidak ada bukti  penelitiannya. Terkadang aku berfikir tak boleh jauh terlibat dalam keluarga orang. Terlebih lagi aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dan itu sebabnya pula aku tak dapat berkutik melakukan hal-hal hal lain diluar kuasaku. Meski terkadang gejolak batin mendorong diri untuk berbuat sesuatu, tetap saja aku tidak memiliki tahta itu. Aku hanya seorang relawan guru yang ditempatkan disini. Tak ada kuasa lebih untuk mengulurkan tanganku menolong anak-anak bernasib seperti bocah itu. Tugasku hanya memberi semangat agar mereka termotivasi untuk merajut asa dan menyongsong cita.

Pernah tersirat dibenakku, andai saja anak itu terurus dengan baik maka ia tidak akan terlihat terlunta-lunta sedemikian rupa. Tapi entahlah, aku pun tak cukup bertualang hingga tahu rasanya menjadi mereka. Menjadi anak-anak yang tampak sangat sederhana dengan mimpi besar yang mungkin saja belum disadarinya. Terakhir kutengok lagi anak itu. Tubuhnya benar-benar raib dari pandangan. Kemudian akupun beranjak dari tempat itu. Hanya doa yang bisa kupanjatkan dengan harapan akan ada secercah harapan untuk kehidupannya dimasa mendatang yang lebih baik.

Ditulis oleh Nanda Rahmad

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *